Klub Baca #37 – Roman Sejarah: Rumah Kaca

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, kembali mengadakan kegiatan baca bersama karya-karya Roman Sejarah yang telah dimulai sejak pertemuan ke-27. Pada pertemuan yang ke-37 ini, seri Roman Sejarah mengambil buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Rumah Kaca.

Buku yang akan dibacakan disediakan oleh Perpustakaan Forum Lenteng dan peserta melakukan kegiatan membaca secara bergantian sementara peserta yang lain mendengarkan. Sembari mendengarkan, kamu bisa menggambar, membat sketsa, memotret dan bahkan makan asal tidak mengganggu kawan yang lain.

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 2 Mei 2018, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!


Sang Filoginis yang Beruntung

Sabtu siang kala itu, gadis-gadis Forum Lenteng duduk mengitari meja persegi panjang yang terletak di ruang depan Forum Lenteng. Berbeda dari jadwal biasanya, Klub Baca Buku Untuk Semua kala itu dilaksanakan di hari Sabtu sebab pada Rabu lalu para pesertanya tengah sibuk dengan pembuatan moving image nirmana untuk kelas Milisi Filem. Pukul 11 siang kami memulai prosesi pembacaan yang keempat buku Jejak Langkah. Asti, Maria, Bohdana dan saya menjadi yang pertama-tama memulai kegiatan membaca Sabtu itu. Kami meneruskan cerita perjalanan Minke yang tengah bergulat dengan “Medan”-nya, Syarikat Dagang Islamiyah dan berbagai gejolak di bumi Hindia-Belanda pada mula abad ke-20. Pergulatan Minke pada buku ini dimulai dari kedatangannya di Batavia setelah meninggalkan kediaman Nyai Ontosoroh, sang pemicu dari awal perjalanan Minke sejak buku Bumi Manusia. Meski demikian korespondensi Minke dengan perempuan ini tak habis lepas begitu saja. Ia tetap menjadi penopang utama Minke dalam perjalanannya di tanah Hindia-Belanda kala itu.

Asti ketika membaca dalam tangkapan layar dari story akun saya pada pertemuan di hari Sabtu, 21 April 2018.

Maria ketika membaca dalam tangkapan layar dari story akun saya pada pertemuan di hari Sabtu, 21 April 2018.

Pada buku ini, kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh perempuan yang tak hanya menandai perjalanan kehidupan Minke sebagai seorang pribadi tapi juga kehidupan Minke sebagai seorang tokoh di Hindia Belanda. Pada pembacaan pertama Jejak Langkah, kami sudah berjumpa dengan seorang gadis jelita asal Tionghoa. Ang San Mei namanya. Pertemuan Minke dengan Ang San Mei berpangkal dari pesan wasiat Khouw Ah Soe kepada Minke untuk menemui gadis Tionghoa itu di Batavia. Si filoginis Minke yang tadinya patah arang selepas kematian Annelies Mellema dan pukulan bertubi-tubi di Wonokromo, kini menemukan api hidupnya kembali melalui gadis Ang. Perempuan yang datang dari Tionghoa ke bumi Hindia-Belanda demi memperjuangkan nasib bangsanya ini mendekatkan kembali Minke pada persoalan sosial politik di tengah kehidupan Minke di STOVIA sebagai calon dokter.

Maria ketika membaca sembari sesekali mengerjakan sertifikat nirmana pada pertemuan membaca tanggal 11 April 2018.

Setelah pernikahannya dengan Mei, keduanya melawat menemui Gadis Jepara yang namanya kala itu menjadi perbincangan di Hindia-Belanda sebagai terpelajar pribumi yang menyerahkan jiwanya pada kemanusiaan dan menuturkannya lewat tulisan-tulisan kepada Von Aberon di Belanda. Sosok Dewi Sartika pun sempat disebut-sebut dalam buku ini namun Minke belum juga menemuinya bersama Mei. Selepas kepergian Khouw Ah Soe, Mei sempat mundur dari dunia organisasinya. Kontak terhadap kawan-kawannya yang lain pun hilang bersamaan dengan tewasnya Khouw Ah Soe. Namun sebuah perjumpaan singkat dengan Dokter Jawa yang kala itu berpidato di STOVIA memicu kembali semangat gerakan Mei dalam berorganisasi. Sebuah kontak datang dari kawan Tiong Hoa dan Mei kembali sibuk dengan organisasinya hingga ia sendiri kemudian habis dimakan radang hati. Minke lagi-lagi menduda. Saya ingat betul alih-alih bersedih, kami malah tertawa mendengarkan bagian itu sebab si pembaca – Hilary – malahan terkikik ketika membacakan keironisan perjalanan Minke si filoginis yang lagi-lagi ditinggal mati istri. Ditambah pula ia kemudian gagal menjadi dokter lantaran dikeluarkan dari STOVIA.

Hilary yang tengah membaca pada tanggal 11 April 2018.

 

Selepas dari STOVIA, Minke mulai menjadi manusia bebas yang pergerakannya benar-benar tak lagi dibatasi dinding sekolah. Sama halnya dengan Mei, Minke pun terinspirasi oleh pidato Dokter Jawa di STOVIA tentang pentingnya berorganisasi. Maka ia kemudian mendirikan Syarikat Priyayi. Meski Syarikat ini tak bertahan lama karena kepriyayian yang terlalu disandangnya membatasi jangkauan keanggotaan, namun organisasi ini berhasil meninggalkan sebuah warisan yang penting bagi kehidupan di Hindia-Belanda. Dimulai sebagai koran mingguan, ‘Medan’ merupakan terbitan Syarikat Priyayi untuk pribumi yang berbahasa Melayu. Ia menjadi terbitan milik pribumi pertama kala itu. Segera, koran mingguan ini berubah menjadi harian dan menjangkau kawasan yang lebih luas dengan dukungan modal dari Nyai Ontosoroh. Minke bersama kawan-kawan Syarikat seperti Thamrin Mohammad Tabrie, Sandiman dan Marko menerbitkan tak cuma informasi namun juga kasus-kasus hukum yang kala itu oleh pemerintah kolonial selalu dibungkus rapat. Perkenalan dengan Mr. Frischboten yang rupanya adalah suami Miriam de la Croix pun mempermudah Minke dan Medan bergerak dalam persoalan yang berkaitan dengan hukum. Dalam buku ini pula, Pram untuk pertama kalinya menyebutkan nama T.A.S sebagai inisial yang dipakai Minke dalam menulis tajuk utama.

Suasana membaca pada pertemuan tanggal 11 April 2018.

Bersamaan dengan gerakan Syarekat Priyayi yang bubar karena dominasi kepriyayiannya, Boedi Oetomo didirikan namun sebagai organisasi bangsa tunggal yang lagi-lagi dominan oleh priyayi. Namun berbeda dengan nasib Syarekat Priyayi, B.O berhasil berjalan dan fokusnya pada kampanye pendidikan Belanda untuk semua orang berhasil membawa B.O menjamah keanggotaan yang lebih luas meski hanya terbatas orang Jawa. Lain dari B.O, sebuah organisasi dagang bernama Syarikat Dagang Islamiyah (SDI) muncul sebagai organisasi bangsa ganda yang kemudian bertumbuh pesat. Minke yang meyakini pemikiran soal organisasi bangsa ganda kemudian bergabung di dalamnya.

Otty Widasari yang tengah membaca dalam sebuah tangakapan layar dari story Asti pada pertemuan tanggal 21 April 2018.

“Selamat Hari Kartini, ya!” Otty tiba-tiba datang di tengah prosesi pembacaan Sabtu itu. Barulah saya ingat bahwa hari itu ialah tanggal 21 April. Otty segera menanyakan kabar Mas Marko – sang petani yang menulis –  lalu ikut bergabung dengan acara membaca. Kami melanjutkan.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

 

Setelah beberapa waktu menduda, Minke sempat nyaris menikah dengan putri Jean Marais yang kini juga adalah putri Nyai Ontosoroh. Namun keluarga muda ini memutuskan pergi ke Perancis dan May yang masih belia memutuskan untuk sekolah daripada menikah. Kami pada pembacaan waktu itu bertepuk tangan salut kepada May yang punya pendirian teguh untuk sekolah. ‘Anak baik’ begitu tutur Otty pada pertemuan membaca yang kedua kala itu.

Suasana membaca tanggal 11 April 2018.

Namun jika bicara soal anak, tentu mesti kita bincangkan sekelumit mengenai perempuan yang membawa Minke ke dunia. Ia muncul sesekali dalam buku Jejak Langkah. Ibunda Minke adalah perempuan Jawa tulen. Dengan seluruh kejawaaannya, ia membesarkan Minke sebagai pribadi yang tak hanya cerdas tapi juga cemerlang. Meski Minke selalu membangkang dari tradisi, Ibundanya tak pernah berhenti mendukung. Bolak-balik dari Kota B menyusul si Burung Kedasih yang awalnya hinggap di Wonokromo, lalu Batavia, lalu Buitenzorg. Pertemuan Minke dan Ibunda adalah salah satu adegan yang selalu syahdu dalam ketiga tetralogi Pram yang telah kami baca.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

Pada pembacaan ketiga, kami bertemu dengan perempuan rupawan dari Kasiruta. Ketertarikannya pada isu boikot yang pernah muncul di terbitan Medan membawanya bertemu dengan Minke. Gadis yang menyebut dirinya Prinses van Kasiruta ini hendak membawa pelajaran tentang boikot ke Kasiruta jika kelak ia bisa kembali ke tanah kelahirannya itu. Ia dan ayahnya telah dibuang dan dilarang kembali ke Kasiruta atau bahkan keluar pulau Jawa oleh Tuan Asisten Residen Priangan. Bersama Minke, mulailah ia mengepalai terbitan bagian perempuan di Medan. Minke lalu menikah dengannya. Pada bagian pernikahan ketiga Minke, sayalah yang tergelak. Sungguh beruntung filoginis satu ini karena terus bertemu dan menikah dengan perempuan-perempuan yang jelita parasnya, isi kepalanya pula hatinya.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

Suasana pertemuan KBBUS pada 14 Maret 2018.

Dewi Sartika akhirnya berhasil ditemui Minke. Prinses kala itu menyertainya. Tak banyak yang terbahas mengenai perempuan Sunda itu kecuali tuturan bahwa ia mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi di tananhnya. Kembali dari perjumpaan dengan Dewi Sartika, Prinses kemudian diam-diam mulai menulis untuk majalah Belanda. Salah satu tulisannya yang bicara tentang kematian Gadis Jepara bukan hanya menjadi tulisan yang baik tapi juga berhasil menohok serta menggonjang-ganjing kehidupan suami mendiang Gadis Jepara, Bupati Rembang. Perempuan Kasiruta yang menurut saya tak banyak bicara ini, juga pada suatu ketika memukau kami – para pembaca – dengan ketegasannya mengusir gerombolan De Knijpers yang datang hendak mengancam Minke di rumahnya. Dengan pistol di genggaman, Prinses mengusir gerombolan kulit putih dari rumahnya yang kala itu ingin memukul mundur Minke dan SDI. Pada kesempatan lainnya, malahan Prinses betul-betul menyelamatkan hidup Minke yang tengah terancam selepas Medan ditutup. Dengan sebuah payung terbuka lebar, ia menembaki gerombolan De Zweep yang tengah mengincar Minke pada suatu kesempatan. Beberapa dari mereka tewas dan salah seorang yang bertahan belakangan diketahui adalah si pembuat onar di setiap seri buku tetralogi ini sejak Bumi Manusia. Tak lain tak bukan ialah Robert Suurhof. Seluruh peserta acara membaca Sabtu itu terpukau mendengar cerita tentang perempuan Kasiruta satu ini.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

Namun demikian buku terbitan Hasta Mitra tahun 1985 yang habis kami baca pada KBBUS edisi ke-33 hingga ke-36 ini berakhir cukup menyesakkan dada. Medan yang akhirnya dibuka kembali malahan menerbitkan berita berbahaya yang selanjutnya membuat Minke ditangkap dan akan segera dibawa pergi menjauh dari Buitenzorg, dari Medan dan dari Prinses van Kasiruta. Asti nyaris menitikkan air mata ketika ia membacakan penutup Jejak Langkah Sabtu itu. Bukan dengan Nyai Ontosoroh kami berpamitan pada penutup kali ini seperti pada Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sebelumnya, melainkan dengan Piah – babu Minke dan Prinses. Perempuan yang tak sekalipun pada bab-bab sebelumnya pernah disebutkan ini, pada penghujung cerita menunjukkan kesetiannya. Untuk pertama kalinya tahulah Minke bahwa Piah pun anggota Syarikat. Prinses telah mendidiknya dengan baik bukan semata sebagai babu tapi juga sebagai manusia yang bergerak, berpikir, berjuang. Kami lalu menutup buku yang telah kami baca pada tanggal 14 Maret, 21 Maret, 11 April dan 21 April 2018 ini dengan napas yang dihela pelan.

Robi tengah membaca sementara Dhuha dan Asti mendengarkan pada pertemuan tanggal 11 April 2018.

Selain gadis-gadis yang membaca Sabtu itu, peserta lain pun turut datang silih berganti. Afrian, Zikri, Pingkan, Hilary, Dhuha, Lutfan, Melisa dan Robi kadang pun ikut membaca. Beberapa jika tertinggal menyusul dengan membaca bab yang terlewat secara terpisah.

Rian tengah membaca pada pertemuan tanggal 14 Maret 2018.

 

Dari ketiga buku ini, tokoh perempuan yang paling disukai oleh Asti dan Maria adalah Nyai Ontosoroh. Ia masih yang paling berkharisma, menurut keduanya. “ Setiap kali ia muncul, kayak ada aura yang kuat banget. Gila, sebagai perempuan Jawa di masa itu ia bisa sangat strategis, cerdas dan luar biasa. Sampai kemudian dia jadi kaya dan kuat betulan.” Tutur Asti ketika ditanyai di studio lantai dua di sela kerjanya membuat moving image nirmana. Maria yang kala itu duduk di sebelahnya pun mengamini dengan bersemangat.

Suasana kegiatan membaca pada 21 Maret 2018.

 

Suasana kegiatan membaca KBBUS ketika membaca buku Jejak Langkah.

Saya sendiri merasa bahwa setiap tokoh perempuan dalam ketiga buku yang menjadi bagian tetralogi ini memiliki kekhasan masing-masing yang menandai tak cuma zamannya tapi juga kondisi bangsanya. Namun harus saya katakan bahwa Gadis Ang dalam kesingkatannya hadir di Jejak Langkah membuat saya terpukau. Bagi saya, ia mendekatkan Minke pada dunia organisasi dan menjadi contoh sebuah ketegaran akan perjuangan terhadap apa yang diyakini.

Catatan Otty Widasari ketika proses membaca.

Sebetulnya ada banyak sekali hal yang menarik dari buku Jejak Langkah. Hampir-hampir begitu padat dengan muatan peristiwa sejarah, catatan harian Minke dan tokoh-tokoh penting pada awal abad ke-20. Namun barangkali saya pun tertular kefiloginisan Minke sehingga lebih tertarik mengulas melalui keberuntungan filoginis asal kota B ini dalam bertemu dengan perempuan-perempuan luar biasa yang membawa terang. Mungkin pula karena kebetulan pembacaan cerita berakhir di Hari Kartini bersama para pembaca perempuan yang membacakan sekelumit cerita Piah.

 

Kolase tangkapan layar dari story akun Pingkan pada pertemuan 11 April 2018.

Usai buku ini, kami akan melanjutkan membaca Rumah Kaca, buku terakhir dalam tetralogi yang ditulis Pram.  Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lentengsetiap hari Rabu pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

 

 

 


Klub Baca #33 – Roman Sejarah: Jejak Langkah

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, kembali mengadakan kegiatan baca bersama karya-karya Roman Sejarah yang telah dimulai sejak pertemuan ke-27. Pada pertemuan yang ke-33 ini, seri Roman Sejarah mengambil buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jejak Langkah.

Buku yang akan dibacakan disediakan oleh Perpustakaan Forum Lenteng dan peserta melakukan kegiatan membaca secara bergantian sementara peserta yang lain mendengarkan. Sembari mendengarkan, kamu bisa menggambar, membat sketsa, memotret dan bahkan makan asal tidak mengganggu kawan yang lain.

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 14 Maret 2018, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!


Pertemuan-Pertemuan dalam Perjalanan Minke

Setelah beberapa waktu lalu tandas membaca Bumi Manusia, Klub Baca Buku Untuk Semua kemudian berpindah pada bacaan selanjutnya. Masih dalam kerangka membaca karya roman sejarah, terutama karya Pramoedya Ananta Toer, KBBUS kemudian menghadirkan sekuel Bumi Manusia untuk dibaca bersama-sama. Seperti halnya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa pun diterbitkan oleh Hasta Mitra  pada tahun 1980 di Jakarta.

Sesi membaca pada 7 Februari 2018 di Perpustakaan Forum Lenteng.

Buku yang pada zamannya pernah menuai kontroversi ini kami baca tuntas dalam tiga kali pertemuan. Pada tanggal 7 Februari 2018, Maria, Dhuha, Pingkan, Otty, Zikri, Asti, Anggra membacakan buku ini di Perpustakaan Forum Lenteng. Sesi kedua dan ketiga pada tanggal 14 dan 28 Februari 2018 dilakukan di ruang depan Forum Lenteng dihadiri oleh Otty, Asti, Pingkan, Dhuha, Anggra, Zikri, Michan. Seorang kawan bernama Hillary yang ikut meneliti arsip-arsip D.A Peransi, turut ikut pula dalam acara membaca pada pertemuan yang ketiga.

Dhuha membacakan Anak Semua Bangsa pada pertemuan tanggal 28 Februari 2018 sementara Hillary dan Zikri mendengarkan.

Secara bergantian kami membacakan buku setebal 353 halaman yang sudah menguning dan tidak lagi bersampul asli tersebut. Maklum, buku yang kami pakai ini adalah edisi cetakan awal hasil sumbangan dari kawan di Forum Lenteng. Bab demi bab Anak Semua Bangsa yang menuturkan kehidupan Minke dan Nyai Ontosoroh selepas kepergian Annelies Mellema ke Belanda pun kami tuturkan. Sebagaimana bulan-bulan belakangan ini semenjak hadir Milisi Filem, para peserta Klub Baca takzim mendengarkan proses pembacaan sembari membuat nirmana dwi-matra. Cerita Anak Semua Bangsa dibuka dengan babak-babak yang menyuratkan kesedihan dan kehilangan akan Annelies. Pingkan menitikkan air mata ketika ia membacakan bagian dimana Panji Darma alias Robert Jan Daperste menyurati Minke dan Nyai Ontosoroh tentang Annelies yang tidak melihat apa-apa lagi hingga kemudian mati sunyi di negeri Ratu Wilhelmina. Ia membaca dengan sebentar-sebentar terbata menahan isak.

Pingkan tengah membacakan Anak Semua Bangsa .

Minke mulai menata rencana ke depan untuk melanjutkan hidupnya selepas kepergian Annelies. Kami kemudian melalui pertemuan-pertemuannya dengan orang-orang dari berbagai bangsa, membaca tentang transisi dunia kolonial pada sekitar tahun 1899 – tahun penutup abad ke-19. Kaki-kaki lain datang lagi dari Utara untuk turut membagi dunia, termasuk dunia di Hindia, bagi dirinya sendiri. Di babak ini, kekuasaan kolonialisme yang bergeser pada Jepang mulai nampak.

Maria tengah membaca sementara Zikri mendokumentasikan . Dhuha dan Hillary mendengarkan.

Minke yang bertemu dengan Khouw Ah Soe kemudian bersitatap pula dengan pengetahuan tentang bolak balik zaman. Ada masanya Eropa melihat, bahkan mengagumi Tiongkok, hingga konon membawa tradisi Tauchang ke Eropa sebagai sebuah tanda kehormatan. Sementara di Tiongkok, Tauchang dikenal sebagai tanda budak di masa ketika Tiongkok dikuasa oleh bangsa dari Utara. Aku duga, itu adalah masa ketika Mongol meringsek menduduki negeri tirai bambu tersebut.

Lalu Minke pun bertemu dengan Kommer yang pandai menulis Melayu. Bahkan Kommer-lah yang menerjemahlan tulisan Minke ke dalam Bahasa Melayu. Meski suka ceramah, Kommer pun telah membawa Minke pada dunia tulisan yang lebih mendalam dan keharusan untuk lebih mengenal bangsanya sendiri.

Sesi membaca tanggal 14 Februari 2018. Zikri tengah membaca sementara Otty dan Bohdana mendengarkan sambil bermain.

Sembari sesekali mengeraskan suara ketika para bayi yang hadir dalam peristiwa membaca yaitu Bohdana dan Tera turut berceloteh, kami mengeja perjalanan Minke dan Nyai Ontosoroh ke Sidoarjo. Di sana Minke bertemu dengan Trunodongso. Kala itu, apa yang telah ia pelajari tentang semboyan Revolusi Prancis pun diuji. Bagaimana sikap-sikapnya pada Truno yang seorang petani semestinya tidak boleh melanggar semangat Revolusi Prancis yang ia pelajari, kagumi dan yakini. Titik ini dapat dikatakan sebagai perjalanan awal Minke di dunia jurnalistik dan kehidupan di luar kertas-kertas teori maupun ruang kelas. Minke pun dibawa untuk berkenalan pada bangsa-bangsa dunia beserta dinamikanya pada penutup abad ke-19, Filipina dan perlawanannya terhadap kolonialisme pun menjadi salah satunya.

Umi Michan turut membaca pada pertemuan tanggal 14 Februari 2018.

Menjelang akhir buku, kami bersama Minke menemui realita tentang gula-gula yang menjadi pondasi beragam kemunculan masalah bagi pribumi kala itu; masalah Plikemboh, Truno dan Sanikem di antaranya. Gula-gula, bak karamel yang lengket dan manis, menjadi daya tarik yang kuat bagi modal kolonial. Di sisi lain, ia menjadi alasan berdirinya berbagai infrastruktur kota seperti jalan, rel kereta dan bahkan media-media massa kolonial kala itu. Kritik terhadap sistem ekonomi kapital dapat kita rasakan, terutama ketika sudah bicara tentang Darsam yang seumur-umur hanya punya badan sebagai modal ekonominya dan Truno yang mati-matian mempertahankan petak tanah terakhirnya yang tinggal berupa sebuah pekarangan.

 

 

 

 

 

Sketsa-sketsa Otty Widasari pada sesi membaca.

Pada Bumi Manusia, penutup cerita ialah kekalahan pilu Minke dan Nyai Ontosoroh di hadapan tuan-tuan kolonial. Tetapi pada Anak Semua Bangsa, Minke dan Nyai Ontosoroh berdiri bersama para sahabatnya yaitu Jean Marais, May, Kommer dan Darsam untuk melawan tuan kolonial, setidaknya lewat ujar.

Saya tidak sempat menanyai para peserta tentang bagian mana yang paling mereka sukai. Tetapi, proses membaca kadang disertai seru-seru semangat terutama ketika tiba pada cerita tentang Plikemboh yang kurang ajar dan Truno yang pemberani. Tentu kepiluan lagi-lagi kami rasai ketika sudah bicara soal Annelies dan hidup Nyai Ontosoroh sendiri.

Peserta membaca pada pertemuan tanggal 14 Februari 2018: Zikri, Otty, Asti, Pingkan, Dhuha (dari ujung depan kiri ke arah jarum jam).

Usai buku ini, kami akan melanjutkan membaca seri Bumi Manusia. Jejak Langkah adalah pemberhentian selanjutnya pada perjalanan seri membaca roman sejarah ini. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lentengsetiap hari Rabu pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***


 


Klub Baca #30 – Roman Sejarah: Anak Semua Bangsa

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, kembali mengadakan kegiatan baca bersama karya-karya Roman Sejarah yang telah dimulai sejak pertemuan ke-27. Pada pertemuan yang ke-30 ini, seri Roman Sejarah mengambil buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Anak Semua Bangsa.

Buku yang akan dibacakan disediakan oleh Perpustakaan Forum Lenteng dan peserta melakukan kegiatan membaca secara bergantian sementara peserta yang lain mendengarkan. Sembari mendengarkan, kamu bisa menggambar, membat sketsa, memotret dan bahkan makan asal tidak mengganggu kawan yang lain.

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 7 Februari 2018, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!


Ulasan Peristiwa Membaca Sebuah Roman Sejarah

Bulan lalu, kami mengawali sebuah seri “Membaca Roman Sejarah” di Klub Baca Buku Untuk Semua. Roman sejarah yang kami pilih kali ini bermula dari sebuah roman sejarah Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia terbitan Hasta Mitra. Karya yang pertama kali terbit pada tahun 1980 ini kami baca tuntas dalam tiga kali pertemuan yaitu pada 27 September 2017, 5 Oktober 2017 dan 12 Oktober 2017. Jika biasanya kami membaca di Perpustakaan Forum Lenteng, kali ini kami berganti suasana dengan membaca di ruang depan Forum Lenteng.  Asti, Anggra, Zikri dan Yonri hadir pada pertemuan pertama pembacaan karya roman yang mengambil latar sejarah Indonesia pada era kolonial ini. Kemudian pada kali kedua, hadir Asti, Anggra, Yonri dan Otty. Pada pertemuan terakhir, hadir Asti, Otty, Anggra, Ragil, Hanif dan Hafiz sebagai penuntas buku yang hingga tahun 2005 ini telah diterbitkan ke 33 bahasa.[1]

Yonri tengah sejenak berhenti membuat nirmana untuk mengambil bagiannya membaca Bumi Manusia pada 27 September 2017 di ruang depan Forum Lenteng.

Belakangan ini, kami biasanya membaca sembari menggambar nirmana sebagai bagian dari studi membuat filem bersama Klub Milisi Filem. Namun tak ayal ketika babak-babak tertentu yang membuat terpingkal atau senyum-senyum dibacakan, seperti babak-babak cerita Annelies Mellema dan Minke, kami pun berhenti sejenak menggambar untuk saling lempar tatap dan tawa. Kami semua sepakat bahwa buku ini adalah salah satu buku novel terbaik yang kami bacakan bersama.

Ragil yang tengah membaca bersama dengan Otty dan Hafiz yang tengah menyimak. Sesi ini dilakukan pada 12 Oktober 2017.

Buku novel ini kurang lebih bertutur tentang seorang Minke, yaitu keturunan Jawa priyayi yang tengah menempuh pendidikan di HBS yang merupakan sekolah orang-orang keturunan Eropa. Dalam perjalanan studinya, Minke menjumpai seorang Nyai yang luar biasa dengan keluarganya yang juga tak biasa. Nyai Ontosoroh, begitulah ia menyebut dirinya, merupakan seorang perempuan yang tidak bersekolah, yang sejak masih gadis dijual orangtuanya hingga menjadi gundik seorang Belanda. Namun alih-alih menjadi gundik tak terdidik seperti perempuan-perempuan lain yang bernasib serupa dengannya, Nyai Ontosoroh justru menjelma menjadi seorang perempuan cerdas yang tangkas dan berpengalaman dalam mengelola bisnis. Anaknya yang bernama Annelies Mellema pun sama-sama piawai dalam menjadi rekan pengelola bisnis. Keduanya hidup dalam sebuah keluarga kaya yang tertutup dan nyaris tak tersentuh khalayak hingga kedatangan Robert Surhof yang membawa serta Minke. Minke dan Annelies saling jatuh hati lalu dimulailah babak-babak cerita tentang kehidupan kolonial melalui tuturan Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh dan melalui orang-orang di sekitar ketiganya. Minke yang cerdas dan terampil menulis lantas belajar banyak dari Nyari Ontosoroh yang luar biasa, menjadikannya kemudian salah satu penulis pribumi yang mampu menulis dalam Bahasa Belanda dengan sangat baik dan pula dikagumi. Ia menjadi kian tajam dalam melihat fenomena kehidupan sebagai warga negara kolonial, bagaimana kondisi yang terjadi kala itu sangat tidak merugikan baginya dan terutama bagi para perempuan seperti Nyai Ontosoroh yang berstatus gundik.

Otty yang tengah membaca pada sesi 5 Oktober 2017.

Salah satu adegan yang paling disukai Otty adalah ketika Minke hendak menikah dan Ibundanya memberikan wejangan-wejangan khas tradisi Jawa. Menurut Otty, Pram menuturkan dengan baik bagaimana di sini perempuan digambarkan sebagai kekuatan kebudayaan sedangkan lelaki sebagai dominasi kekuasaan. Para Bapak hadir sebagai cerminan atas kuasa, dominasi dan hirarki yang begitu sulit dilanggar. Sedangkan para Ibu seperti cerminan atas pengetahuan, ruang belajar dan pemangku kebudayaan serta tradisi. Ada kalanya bagi saya, Pram menuliskan perempuan dengan peran yang teramat luhung atau luhur di sini. Mereka yang memberikan ilmu pengetahuan dalam roman ini, dihadirkan melalui karakter-karakter perempuan yang tak cuma cerdas tetapi juga tangguh. Ibunda Minke, Nyai Ontosoroh, Annelies Mellema hingga Magda Peters yang merupakan seorang Belanda guru Minke di HBS, adalah sosok-sosok berilmu namun berbudi luhur yang tahu persis betapa berilmu adalah bagian dari bekal kemanusiaan. Belajar seperti halnya penyelamat kala itu. Dan mungkin masih pula sangat relevan hingga hari ini, dan mungkin hingga kapanpun.

Zikri yang tengah membaca pada sesi 27 September 2017.

Hanif yang membaca pada sesi 12 Oktober 2017.

Saya sendiri berkali-kali tertohok oleh sebuah kutipan dalam buku ini yang diucapkan melalui tokoh Jean Marais, kawan Minke yang juga merupakan mantan prajurit Perancis sekaligus pelukis, yang berbunyi “Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran”. Kata-kata ini memang sudah seringkali terdengar dimana-mana. Namun ketika membacanya sendiri dan mendengarnya berulang kali menjadi tasbih Minke dalam menghadapi berbagai kepelikan, membuat gaung peringatan dalam kata-kata ini semakin jelas. Seringkali justru yang terpelajarlah yang lupa menjadi adil, baik sejak di pikiran atau bahkan hingga pada perbuatan. Pram, dalam keterasingannya, telah melahirkan sebuah karya yang bicara bukan hanya soal suatu cerita pada sebuah masa kolonialisme, tapi juga tentang kemanusiaan dan pendidikan.

Hafiz Rancajale untuk pertama kalinya ikut membaca. Sesi 12 Oktober 2017.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lentengsetiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

Catatan rujukan penulis:

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Bumi_Manusia diakses pada Selasa, 31 Oktober 2017 pukul 02.27 WIB.



Klub Baca #27: Membaca Roman Sejarah

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, mengadakan kegiatan baca bersama karya-karya Roman Sejarah dimulai sejak pertemuan ke-27 ini. Buku yang akan dibacakan disediakan oleh Perpustakaan Forum Lenteng dan peserta melakukan kegiatan membaca secara bergantian sementara peserta yang lain mendengarkan. Sembari mendengarkan, kamu bisa menggambar, membat sketsa, memotret dan bahkan makan asal tidak mengganggu kawan yang lain.

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 27 September 2017, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!