Camus dan Persona Ganjil Mersault

Penulis: Ika Yuliana

Rabu malam tiba, dan kembali waktunya Klub Baca. Di kali kelimabelas, penghuni-penghuni setia Perpustakaan Forum Lenteng membaca sebuah buku ternama dari seorang penulis/ filsuf Perancis kelahiran Aljazair, Albert Camus. Orang Asing, atau yang judul aslinya, L’Étranger dalam bahasa Prancis menjadi pilihan untuk dikhatamkan malam itu. Pembaca tak sebanyak biasanya, hanya si mungil Anggra, si energik Pingkan, si lelaki satu-satunya, Rayhan, dan saya. Kami berempat menyelesaikan 120 halaman karya tersebut tepat pukul sebelas malam.

Kiri ke kanan: Pingkan, Rayhan dan Anggra.

Berlatar di tanah kelahiran sang penulis di Aljazair, tokoh utama Orang Asing ialah seorang laki-laki bernama Meursault. Di awal cerita, Meursault mendapat berita bahwa ibunya yang telah lama tinggal di panti jompo meninggal dunia. Namun demikian, ia tak menunjukkan kesedihan hingga pemakaman ibunya. Hal ini dinilai oleh orang lain sebagai suatu tindakan yang aneh dan janggal.

Alur selanjutnya, Meursault berkencan dengan seorang perempuan bernama Marie Cardona. Kencan tersebut hanya berselang sehari setelah pemakaman ibunya. Pada saat kencan, Mersault mengenakan dasi hitam yang menyebabkan Marie bertanya apakah Mersault dalam keadaan berduka. Namun, Mersault hanya mengatakan bahwa ibunya baru meninggal kemarin dengan ekspresi datar. Mersault menganggap bahwa meninggalnya sang ibu di hari Jumat atau hari apapun itu bukanlah “salah”nya, atau keinginannya, tetapi orang-orang sepertinya menganggap dia aneh.

Ia berkenalan dengan Raymond Sintes, yaitu tetangganya yang merupakan seorang pria yang tidak diketahui apa pekerjaannya namun selalu berpakaian rapi. Adapula tetangganya yang lain, seorang pria tua bernama Salamano yang selalu meludah, dan berpergian bersama anjingnya yang juga tua seperti dia. Baik Marie maupun Raymond ingin bersahabat dekat dengan Meursault, tapi respon Mersault tidak menunjukkan bahwa ia sangat antusias atau senang, ia menganggap biasa saja.

Pada sore hari Marie datang menemui aku, dan bertanya apakah aku mau menikah dengannya. Aku berkata, bagiku hal itu sama saja, dan bahwa kami dapat melakukannya jika dia menghendakinya. (h.43)

Demikian juga ketika ia ditawari oleh majikannya untuk menangani cabang usaha baru di Paris. Meursault tidak menanggapinya sebagai suatu kesempatan dan tantangan, tetapi ia biasa saja.

Ia (majikannya) lalu bertanya apakah aku tidak tertarik mengubah hidupku. Aku menjawab bahwa kita tidak akan pernah mengubah hidup kita, bahwa bagaimanapun semua sama nilainya, dan bahwa aku menyukai benar hidupku di sini. Ia tampak tidak senang, ia berkata bahwa aku selalu memberikan jawaban yang menyimpang, bahwa aku tidak mempunyai ambisi, dan semua itu amat mengecewakan dalam dunia usaha. (h.43).

 

Pingkan tengah membaca sembari kamera ponsel terus merekam dan menyiarkan pembacaannya live via Facebook.

Suatu kali dalam perjalanan Mersault bersama Raymond dan Marie ke pantai, mereka bertemu dengan Masson dan istrinya. Perjalanan yang awalnya merupakan acara berlibur menjadi terganggu karena Raymond dicederai oleh orang Arab yang bermusuhan dengan Raymond. Mersault sebenarnya tidak ada urusan dengan orang Arab tersebut. Ia hanya memegang pistol Raymond ketika Raymond berkelahi.

Bersama Masson dan Mersault, Raymond kembali ke rumah Masson untuk beristirahat. Mersault yang sebenarnya ingin memperoleh ketenangan kembali ke tempat perkelahian tersebut karena di sana ada mata air. Namun, orang Arab tersebut masih ada di sana. Hawa panas yang menggigit kulit dan si orang Arab yang mengeluarkan pisaunya kembali mengakibatkan Mersault hilang kendali. Pistol yang tadinya dititipkan di sakunya, tak sengaja tertarik picunya dan orang Arab tersebut tertembak. Anehnya, Mersault tidak merasa panik. Ia masih menembak tubuh tak bergerak itu empat kali lagi.

Sembari mendengarkan pembacaan oleh Rayhan, Pingkan membuat sketsa peristiwa Klub Baca #15.

Dari serangkaian keanehan Mersault ini, Albert Camus membawa cerita Mersault ke babak ke dua, yaitu pascapembunuhan orang Arab. Mersault ditangkap dan diperiksa berkali-kali. Menurut undang-undang, Mersault didampingi oleh pembela hukum. Alih-alih memberi bantuan hukum, pembela ini malah lebih mendengarkan “gosip” tentang pribadi Mersault yang dianggap “tidak berperasaan” ketika ibunya meninggal. Proses selanjutnya ialah ketika Mersault mengikuti persidangan. Dalam persidangan tersebut, baik pembela, jaksa, saksi, dan hakim, mempersoalkan tindakan Mersault yang dianggap “tidak biasa” ketika ibunya meninggal. Mersault ditanyai apakah ia menyesal dengan perbuatannya, dan apakah ia percaya kepada Tuhan? Dengan datar, Mersault menjawab tidak.

Saya yang membaca dan representasi saya yang sedang membaca Orang Asing.

Sikap dan tindakan Mersault sungguh membuat orang lain bingung, namun bagi Mersault sendiri, orang lain lainlah yang tidak mengerti apa yang ia maksudkan. Mungkin siapa-siapa yang membaca kisah ini berpikir dalam benaknya, seharusnya si tokoh bersedih karena ia kehilangan orang (yang harusnya juga) ia cintai. Tapi saya sendiri pun merasa tidak aneh dengan ketidaksedihan Mersault, karena kebetulan saya merasakan hal yang sama ketika ayah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Dan mungkin hal itu terjadi karena sejak kecil ada keberjarakan antara saya dengan ayah saya. Mungkin saja, bukan?

Sebenarnya, sampul belakang buku ini sudah memberi bocoran jika buku ini adalah awal pemikiran Camus terhadap filsafat absurd. Absurd dapat diterjemahkan secara bebas bahwa dalam hidup tidak ada makna, tidak ada yang terlalu baik, tidak ada yang terlalu buruk. Inilah absurd. Inilah keterasingan. Lewat Mersault, Camus menyuarakan keterasingannya. Keterasingan hidup akibat pilihan-pilihannya. Tidak hanya manusia yang ikut “mencampuri” hidupnya, tetapi semesta turut serta. Teriknya sinar matahari serta cuaca yang panas pun turut memberi andil akan nasib hidup Mersault.

Pembaca lelaki satu-satunya malam ini, Rayhan.

Mata dibayar dengan mata, nyawa dibayar dengan nyawa. Rayhan lalu teringat dengan kitab Hamurabi saat membaca buku ini. Bagian peradilan pidana Mersault menjadi favoritnya, mungkin karena ia mantan mahasiswa Kriminologi. Atau mungkin juga karena Camus sendiri membuat pembaca merasa terlibat untuk mengetahui seluk beluk sejarah peradilan sang tokoh utama yang menurut pendapat Pingkan adalah tipikal dari kesia-siaan. Tokoh ini tak hanya tragedi materi tapi juga tragedi rohani (pikiran) yang terjadi.  Pingkan sampai-sampai ingin mempelajari filsafat absurd untuk memastikan apakah sepesimis itu pemikiran dan tindakan si tokoh. Anggra pun merasakan ‘asing’ yang lain, khususnya dari segi penulisan, karena Camus sangat jarang memakai konjungsi atau kata sambung di awal kalimat. Hampir semua kalimat-kalimatnya itu terkesan arbitrer; berdiri sendiri dan seenak jidat si penulis. Semakin lama semakin terlihat bentuk keseluruhan ceritanya, yang memang tentang betapa asingnya si Mersault. Meskipun terkantuk-kantuk saat membaca, Anggra dan yang lainnya mengaku menyukai sastra terjemahan ini.

 

Kenampakan rutinitas Klub Baca setiap Rabu malam. Kiri ke kanan: saya, Pingkan dan Rayhan.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

Klub Baca #15: Orang Asing
Klub Baca #16: Pintu Tertutup