Sang Filoginis yang Beruntung

Sabtu siang kala itu, gadis-gadis Forum Lenteng duduk mengitari meja persegi panjang yang terletak di ruang depan Forum Lenteng. Berbeda dari jadwal biasanya, Klub Baca Buku Untuk Semua kala itu dilaksanakan di hari Sabtu sebab pada Rabu lalu para pesertanya tengah sibuk dengan pembuatan moving image nirmana untuk kelas Milisi Filem. Pukul 11 siang kami memulai prosesi pembacaan yang keempat buku Jejak Langkah. Asti, Maria, Bohdana dan saya menjadi yang pertama-tama memulai kegiatan membaca Sabtu itu. Kami meneruskan cerita perjalanan Minke yang tengah bergulat dengan “Medan”-nya, Syarikat Dagang Islamiyah dan berbagai gejolak di bumi Hindia-Belanda pada mula abad ke-20. Pergulatan Minke pada buku ini dimulai dari kedatangannya di Batavia setelah meninggalkan kediaman Nyai Ontosoroh, sang pemicu dari awal perjalanan Minke sejak buku Bumi Manusia. Meski demikian korespondensi Minke dengan perempuan ini tak habis lepas begitu saja. Ia tetap menjadi penopang utama Minke dalam perjalanannya di tanah Hindia-Belanda kala itu.

Asti ketika membaca dalam tangkapan layar dari story akun saya pada pertemuan di hari Sabtu, 21 April 2018.

Maria ketika membaca dalam tangkapan layar dari story akun saya pada pertemuan di hari Sabtu, 21 April 2018.

Pada buku ini, kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh perempuan yang tak hanya menandai perjalanan kehidupan Minke sebagai seorang pribadi tapi juga kehidupan Minke sebagai seorang tokoh di Hindia Belanda. Pada pembacaan pertama Jejak Langkah, kami sudah berjumpa dengan seorang gadis jelita asal Tionghoa. Ang San Mei namanya. Pertemuan Minke dengan Ang San Mei berpangkal dari pesan wasiat Khouw Ah Soe kepada Minke untuk menemui gadis Tionghoa itu di Batavia. Si filoginis Minke yang tadinya patah arang selepas kematian Annelies Mellema dan pukulan bertubi-tubi di Wonokromo, kini menemukan api hidupnya kembali melalui gadis Ang. Perempuan yang datang dari Tionghoa ke bumi Hindia-Belanda demi memperjuangkan nasib bangsanya ini mendekatkan kembali Minke pada persoalan sosial politik di tengah kehidupan Minke di STOVIA sebagai calon dokter.

Maria ketika membaca sembari sesekali mengerjakan sertifikat nirmana pada pertemuan membaca tanggal 11 April 2018.

Setelah pernikahannya dengan Mei, keduanya melawat menemui Gadis Jepara yang namanya kala itu menjadi perbincangan di Hindia-Belanda sebagai terpelajar pribumi yang menyerahkan jiwanya pada kemanusiaan dan menuturkannya lewat tulisan-tulisan kepada Von Aberon di Belanda. Sosok Dewi Sartika pun sempat disebut-sebut dalam buku ini namun Minke belum juga menemuinya bersama Mei. Selepas kepergian Khouw Ah Soe, Mei sempat mundur dari dunia organisasinya. Kontak terhadap kawan-kawannya yang lain pun hilang bersamaan dengan tewasnya Khouw Ah Soe. Namun sebuah perjumpaan singkat dengan Dokter Jawa yang kala itu berpidato di STOVIA memicu kembali semangat gerakan Mei dalam berorganisasi. Sebuah kontak datang dari kawan Tiong Hoa dan Mei kembali sibuk dengan organisasinya hingga ia sendiri kemudian habis dimakan radang hati. Minke lagi-lagi menduda. Saya ingat betul alih-alih bersedih, kami malah tertawa mendengarkan bagian itu sebab si pembaca – Hilary – malahan terkikik ketika membacakan keironisan perjalanan Minke si filoginis yang lagi-lagi ditinggal mati istri. Ditambah pula ia kemudian gagal menjadi dokter lantaran dikeluarkan dari STOVIA.

Hilary yang tengah membaca pada tanggal 11 April 2018.

 

Selepas dari STOVIA, Minke mulai menjadi manusia bebas yang pergerakannya benar-benar tak lagi dibatasi dinding sekolah. Sama halnya dengan Mei, Minke pun terinspirasi oleh pidato Dokter Jawa di STOVIA tentang pentingnya berorganisasi. Maka ia kemudian mendirikan Syarikat Priyayi. Meski Syarikat ini tak bertahan lama karena kepriyayian yang terlalu disandangnya membatasi jangkauan keanggotaan, namun organisasi ini berhasil meninggalkan sebuah warisan yang penting bagi kehidupan di Hindia-Belanda. Dimulai sebagai koran mingguan, ‘Medan’ merupakan terbitan Syarikat Priyayi untuk pribumi yang berbahasa Melayu. Ia menjadi terbitan milik pribumi pertama kala itu. Segera, koran mingguan ini berubah menjadi harian dan menjangkau kawasan yang lebih luas dengan dukungan modal dari Nyai Ontosoroh. Minke bersama kawan-kawan Syarikat seperti Thamrin Mohammad Tabrie, Sandiman dan Marko menerbitkan tak cuma informasi namun juga kasus-kasus hukum yang kala itu oleh pemerintah kolonial selalu dibungkus rapat. Perkenalan dengan Mr. Frischboten yang rupanya adalah suami Miriam de la Croix pun mempermudah Minke dan Medan bergerak dalam persoalan yang berkaitan dengan hukum. Dalam buku ini pula, Pram untuk pertama kalinya menyebutkan nama T.A.S sebagai inisial yang dipakai Minke dalam menulis tajuk utama.

Suasana membaca pada pertemuan tanggal 11 April 2018.

Bersamaan dengan gerakan Syarekat Priyayi yang bubar karena dominasi kepriyayiannya, Boedi Oetomo didirikan namun sebagai organisasi bangsa tunggal yang lagi-lagi dominan oleh priyayi. Namun berbeda dengan nasib Syarekat Priyayi, B.O berhasil berjalan dan fokusnya pada kampanye pendidikan Belanda untuk semua orang berhasil membawa B.O menjamah keanggotaan yang lebih luas meski hanya terbatas orang Jawa. Lain dari B.O, sebuah organisasi dagang bernama Syarikat Dagang Islamiyah (SDI) muncul sebagai organisasi bangsa ganda yang kemudian bertumbuh pesat. Minke yang meyakini pemikiran soal organisasi bangsa ganda kemudian bergabung di dalamnya.

Otty Widasari yang tengah membaca dalam sebuah tangakapan layar dari story Asti pada pertemuan tanggal 21 April 2018.

“Selamat Hari Kartini, ya!” Otty tiba-tiba datang di tengah prosesi pembacaan Sabtu itu. Barulah saya ingat bahwa hari itu ialah tanggal 21 April. Otty segera menanyakan kabar Mas Marko – sang petani yang menulis –  lalu ikut bergabung dengan acara membaca. Kami melanjutkan.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

 

Setelah beberapa waktu menduda, Minke sempat nyaris menikah dengan putri Jean Marais yang kini juga adalah putri Nyai Ontosoroh. Namun keluarga muda ini memutuskan pergi ke Perancis dan May yang masih belia memutuskan untuk sekolah daripada menikah. Kami pada pembacaan waktu itu bertepuk tangan salut kepada May yang punya pendirian teguh untuk sekolah. ‘Anak baik’ begitu tutur Otty pada pertemuan membaca yang kedua kala itu.

Suasana membaca tanggal 11 April 2018.

Namun jika bicara soal anak, tentu mesti kita bincangkan sekelumit mengenai perempuan yang membawa Minke ke dunia. Ia muncul sesekali dalam buku Jejak Langkah. Ibunda Minke adalah perempuan Jawa tulen. Dengan seluruh kejawaaannya, ia membesarkan Minke sebagai pribadi yang tak hanya cerdas tapi juga cemerlang. Meski Minke selalu membangkang dari tradisi, Ibundanya tak pernah berhenti mendukung. Bolak-balik dari Kota B menyusul si Burung Kedasih yang awalnya hinggap di Wonokromo, lalu Batavia, lalu Buitenzorg. Pertemuan Minke dan Ibunda adalah salah satu adegan yang selalu syahdu dalam ketiga tetralogi Pram yang telah kami baca.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

Pada pembacaan ketiga, kami bertemu dengan perempuan rupawan dari Kasiruta. Ketertarikannya pada isu boikot yang pernah muncul di terbitan Medan membawanya bertemu dengan Minke. Gadis yang menyebut dirinya Prinses van Kasiruta ini hendak membawa pelajaran tentang boikot ke Kasiruta jika kelak ia bisa kembali ke tanah kelahirannya itu. Ia dan ayahnya telah dibuang dan dilarang kembali ke Kasiruta atau bahkan keluar pulau Jawa oleh Tuan Asisten Residen Priangan. Bersama Minke, mulailah ia mengepalai terbitan bagian perempuan di Medan. Minke lalu menikah dengannya. Pada bagian pernikahan ketiga Minke, sayalah yang tergelak. Sungguh beruntung filoginis satu ini karena terus bertemu dan menikah dengan perempuan-perempuan yang jelita parasnya, isi kepalanya pula hatinya.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

Suasana pertemuan KBBUS pada 14 Maret 2018.

Dewi Sartika akhirnya berhasil ditemui Minke. Prinses kala itu menyertainya. Tak banyak yang terbahas mengenai perempuan Sunda itu kecuali tuturan bahwa ia mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi di tananhnya. Kembali dari perjumpaan dengan Dewi Sartika, Prinses kemudian diam-diam mulai menulis untuk majalah Belanda. Salah satu tulisannya yang bicara tentang kematian Gadis Jepara bukan hanya menjadi tulisan yang baik tapi juga berhasil menohok serta menggonjang-ganjing kehidupan suami mendiang Gadis Jepara, Bupati Rembang. Perempuan Kasiruta yang menurut saya tak banyak bicara ini, juga pada suatu ketika memukau kami – para pembaca – dengan ketegasannya mengusir gerombolan De Knijpers yang datang hendak mengancam Minke di rumahnya. Dengan pistol di genggaman, Prinses mengusir gerombolan kulit putih dari rumahnya yang kala itu ingin memukul mundur Minke dan SDI. Pada kesempatan lainnya, malahan Prinses betul-betul menyelamatkan hidup Minke yang tengah terancam selepas Medan ditutup. Dengan sebuah payung terbuka lebar, ia menembaki gerombolan De Zweep yang tengah mengincar Minke pada suatu kesempatan. Beberapa dari mereka tewas dan salah seorang yang bertahan belakangan diketahui adalah si pembuat onar di setiap seri buku tetralogi ini sejak Bumi Manusia. Tak lain tak bukan ialah Robert Suurhof. Seluruh peserta acara membaca Sabtu itu terpukau mendengar cerita tentang perempuan Kasiruta satu ini.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

Namun demikian buku terbitan Hasta Mitra tahun 1985 yang habis kami baca pada KBBUS edisi ke-33 hingga ke-36 ini berakhir cukup menyesakkan dada. Medan yang akhirnya dibuka kembali malahan menerbitkan berita berbahaya yang selanjutnya membuat Minke ditangkap dan akan segera dibawa pergi menjauh dari Buitenzorg, dari Medan dan dari Prinses van Kasiruta. Asti nyaris menitikkan air mata ketika ia membacakan penutup Jejak Langkah Sabtu itu. Bukan dengan Nyai Ontosoroh kami berpamitan pada penutup kali ini seperti pada Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sebelumnya, melainkan dengan Piah – babu Minke dan Prinses. Perempuan yang tak sekalipun pada bab-bab sebelumnya pernah disebutkan ini, pada penghujung cerita menunjukkan kesetiannya. Untuk pertama kalinya tahulah Minke bahwa Piah pun anggota Syarikat. Prinses telah mendidiknya dengan baik bukan semata sebagai babu tapi juga sebagai manusia yang bergerak, berpikir, berjuang. Kami lalu menutup buku yang telah kami baca pada tanggal 14 Maret, 21 Maret, 11 April dan 21 April 2018 ini dengan napas yang dihela pelan.

Robi tengah membaca sementara Dhuha dan Asti mendengarkan pada pertemuan tanggal 11 April 2018.

Selain gadis-gadis yang membaca Sabtu itu, peserta lain pun turut datang silih berganti. Afrian, Zikri, Pingkan, Hilary, Dhuha, Lutfan, Melisa dan Robi kadang pun ikut membaca. Beberapa jika tertinggal menyusul dengan membaca bab yang terlewat secara terpisah.

Rian tengah membaca pada pertemuan tanggal 14 Maret 2018.

 

Dari ketiga buku ini, tokoh perempuan yang paling disukai oleh Asti dan Maria adalah Nyai Ontosoroh. Ia masih yang paling berkharisma, menurut keduanya. “ Setiap kali ia muncul, kayak ada aura yang kuat banget. Gila, sebagai perempuan Jawa di masa itu ia bisa sangat strategis, cerdas dan luar biasa. Sampai kemudian dia jadi kaya dan kuat betulan.” Tutur Asti ketika ditanyai di studio lantai dua di sela kerjanya membuat moving image nirmana. Maria yang kala itu duduk di sebelahnya pun mengamini dengan bersemangat.

Suasana kegiatan membaca pada 21 Maret 2018.

 

Suasana kegiatan membaca KBBUS ketika membaca buku Jejak Langkah.

Saya sendiri merasa bahwa setiap tokoh perempuan dalam ketiga buku yang menjadi bagian tetralogi ini memiliki kekhasan masing-masing yang menandai tak cuma zamannya tapi juga kondisi bangsanya. Namun harus saya katakan bahwa Gadis Ang dalam kesingkatannya hadir di Jejak Langkah membuat saya terpukau. Bagi saya, ia mendekatkan Minke pada dunia organisasi dan menjadi contoh sebuah ketegaran akan perjuangan terhadap apa yang diyakini.

Catatan Otty Widasari ketika proses membaca.

Sebetulnya ada banyak sekali hal yang menarik dari buku Jejak Langkah. Hampir-hampir begitu padat dengan muatan peristiwa sejarah, catatan harian Minke dan tokoh-tokoh penting pada awal abad ke-20. Namun barangkali saya pun tertular kefiloginisan Minke sehingga lebih tertarik mengulas melalui keberuntungan filoginis asal kota B ini dalam bertemu dengan perempuan-perempuan luar biasa yang membawa terang. Mungkin pula karena kebetulan pembacaan cerita berakhir di Hari Kartini bersama para pembaca perempuan yang membacakan sekelumit cerita Piah.

 

Kolase tangkapan layar dari story akun Pingkan pada pertemuan 11 April 2018.

Usai buku ini, kami akan melanjutkan membaca Rumah Kaca, buku terakhir dalam tetralogi yang ditulis Pram.  Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lentengsetiap hari Rabu pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

 

 

 


Pertemuan-Pertemuan dalam Perjalanan Minke

Setelah beberapa waktu lalu tandas membaca Bumi Manusia, Klub Baca Buku Untuk Semua kemudian berpindah pada bacaan selanjutnya. Masih dalam kerangka membaca karya roman sejarah, terutama karya Pramoedya Ananta Toer, KBBUS kemudian menghadirkan sekuel Bumi Manusia untuk dibaca bersama-sama. Seperti halnya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa pun diterbitkan oleh Hasta Mitra  pada tahun 1980 di Jakarta.

Sesi membaca pada 7 Februari 2018 di Perpustakaan Forum Lenteng.

Buku yang pada zamannya pernah menuai kontroversi ini kami baca tuntas dalam tiga kali pertemuan. Pada tanggal 7 Februari 2018, Maria, Dhuha, Pingkan, Otty, Zikri, Asti, Anggra membacakan buku ini di Perpustakaan Forum Lenteng. Sesi kedua dan ketiga pada tanggal 14 dan 28 Februari 2018 dilakukan di ruang depan Forum Lenteng dihadiri oleh Otty, Asti, Pingkan, Dhuha, Anggra, Zikri, Michan. Seorang kawan bernama Hillary yang ikut meneliti arsip-arsip D.A Peransi, turut ikut pula dalam acara membaca pada pertemuan yang ketiga.

Dhuha membacakan Anak Semua Bangsa pada pertemuan tanggal 28 Februari 2018 sementara Hillary dan Zikri mendengarkan.

Secara bergantian kami membacakan buku setebal 353 halaman yang sudah menguning dan tidak lagi bersampul asli tersebut. Maklum, buku yang kami pakai ini adalah edisi cetakan awal hasil sumbangan dari kawan di Forum Lenteng. Bab demi bab Anak Semua Bangsa yang menuturkan kehidupan Minke dan Nyai Ontosoroh selepas kepergian Annelies Mellema ke Belanda pun kami tuturkan. Sebagaimana bulan-bulan belakangan ini semenjak hadir Milisi Filem, para peserta Klub Baca takzim mendengarkan proses pembacaan sembari membuat nirmana dwi-matra. Cerita Anak Semua Bangsa dibuka dengan babak-babak yang menyuratkan kesedihan dan kehilangan akan Annelies. Pingkan menitikkan air mata ketika ia membacakan bagian dimana Panji Darma alias Robert Jan Daperste menyurati Minke dan Nyai Ontosoroh tentang Annelies yang tidak melihat apa-apa lagi hingga kemudian mati sunyi di negeri Ratu Wilhelmina. Ia membaca dengan sebentar-sebentar terbata menahan isak.

Pingkan tengah membacakan Anak Semua Bangsa .

Minke mulai menata rencana ke depan untuk melanjutkan hidupnya selepas kepergian Annelies. Kami kemudian melalui pertemuan-pertemuannya dengan orang-orang dari berbagai bangsa, membaca tentang transisi dunia kolonial pada sekitar tahun 1899 – tahun penutup abad ke-19. Kaki-kaki lain datang lagi dari Utara untuk turut membagi dunia, termasuk dunia di Hindia, bagi dirinya sendiri. Di babak ini, kekuasaan kolonialisme yang bergeser pada Jepang mulai nampak.

Maria tengah membaca sementara Zikri mendokumentasikan . Dhuha dan Hillary mendengarkan.

Minke yang bertemu dengan Khouw Ah Soe kemudian bersitatap pula dengan pengetahuan tentang bolak balik zaman. Ada masanya Eropa melihat, bahkan mengagumi Tiongkok, hingga konon membawa tradisi Tauchang ke Eropa sebagai sebuah tanda kehormatan. Sementara di Tiongkok, Tauchang dikenal sebagai tanda budak di masa ketika Tiongkok dikuasa oleh bangsa dari Utara. Aku duga, itu adalah masa ketika Mongol meringsek menduduki negeri tirai bambu tersebut.

Lalu Minke pun bertemu dengan Kommer yang pandai menulis Melayu. Bahkan Kommer-lah yang menerjemahlan tulisan Minke ke dalam Bahasa Melayu. Meski suka ceramah, Kommer pun telah membawa Minke pada dunia tulisan yang lebih mendalam dan keharusan untuk lebih mengenal bangsanya sendiri.

Sesi membaca tanggal 14 Februari 2018. Zikri tengah membaca sementara Otty dan Bohdana mendengarkan sambil bermain.

Sembari sesekali mengeraskan suara ketika para bayi yang hadir dalam peristiwa membaca yaitu Bohdana dan Tera turut berceloteh, kami mengeja perjalanan Minke dan Nyai Ontosoroh ke Sidoarjo. Di sana Minke bertemu dengan Trunodongso. Kala itu, apa yang telah ia pelajari tentang semboyan Revolusi Prancis pun diuji. Bagaimana sikap-sikapnya pada Truno yang seorang petani semestinya tidak boleh melanggar semangat Revolusi Prancis yang ia pelajari, kagumi dan yakini. Titik ini dapat dikatakan sebagai perjalanan awal Minke di dunia jurnalistik dan kehidupan di luar kertas-kertas teori maupun ruang kelas. Minke pun dibawa untuk berkenalan pada bangsa-bangsa dunia beserta dinamikanya pada penutup abad ke-19, Filipina dan perlawanannya terhadap kolonialisme pun menjadi salah satunya.

Umi Michan turut membaca pada pertemuan tanggal 14 Februari 2018.

Menjelang akhir buku, kami bersama Minke menemui realita tentang gula-gula yang menjadi pondasi beragam kemunculan masalah bagi pribumi kala itu; masalah Plikemboh, Truno dan Sanikem di antaranya. Gula-gula, bak karamel yang lengket dan manis, menjadi daya tarik yang kuat bagi modal kolonial. Di sisi lain, ia menjadi alasan berdirinya berbagai infrastruktur kota seperti jalan, rel kereta dan bahkan media-media massa kolonial kala itu. Kritik terhadap sistem ekonomi kapital dapat kita rasakan, terutama ketika sudah bicara tentang Darsam yang seumur-umur hanya punya badan sebagai modal ekonominya dan Truno yang mati-matian mempertahankan petak tanah terakhirnya yang tinggal berupa sebuah pekarangan.

 

 

 

 

 

Sketsa-sketsa Otty Widasari pada sesi membaca.

Pada Bumi Manusia, penutup cerita ialah kekalahan pilu Minke dan Nyai Ontosoroh di hadapan tuan-tuan kolonial. Tetapi pada Anak Semua Bangsa, Minke dan Nyai Ontosoroh berdiri bersama para sahabatnya yaitu Jean Marais, May, Kommer dan Darsam untuk melawan tuan kolonial, setidaknya lewat ujar.

Saya tidak sempat menanyai para peserta tentang bagian mana yang paling mereka sukai. Tetapi, proses membaca kadang disertai seru-seru semangat terutama ketika tiba pada cerita tentang Plikemboh yang kurang ajar dan Truno yang pemberani. Tentu kepiluan lagi-lagi kami rasai ketika sudah bicara soal Annelies dan hidup Nyai Ontosoroh sendiri.

Peserta membaca pada pertemuan tanggal 14 Februari 2018: Zikri, Otty, Asti, Pingkan, Dhuha (dari ujung depan kiri ke arah jarum jam).

Usai buku ini, kami akan melanjutkan membaca seri Bumi Manusia. Jejak Langkah adalah pemberhentian selanjutnya pada perjalanan seri membaca roman sejarah ini. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lentengsetiap hari Rabu pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***


 


Ulasan Peristiwa Membaca Sebuah Roman Sejarah

Bulan lalu, kami mengawali sebuah seri “Membaca Roman Sejarah” di Klub Baca Buku Untuk Semua. Roman sejarah yang kami pilih kali ini bermula dari sebuah roman sejarah Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia terbitan Hasta Mitra. Karya yang pertama kali terbit pada tahun 1980 ini kami baca tuntas dalam tiga kali pertemuan yaitu pada 27 September 2017, 5 Oktober 2017 dan 12 Oktober 2017. Jika biasanya kami membaca di Perpustakaan Forum Lenteng, kali ini kami berganti suasana dengan membaca di ruang depan Forum Lenteng.  Asti, Anggra, Zikri dan Yonri hadir pada pertemuan pertama pembacaan karya roman yang mengambil latar sejarah Indonesia pada era kolonial ini. Kemudian pada kali kedua, hadir Asti, Anggra, Yonri dan Otty. Pada pertemuan terakhir, hadir Asti, Otty, Anggra, Ragil, Hanif dan Hafiz sebagai penuntas buku yang hingga tahun 2005 ini telah diterbitkan ke 33 bahasa.[1]

Yonri tengah sejenak berhenti membuat nirmana untuk mengambil bagiannya membaca Bumi Manusia pada 27 September 2017 di ruang depan Forum Lenteng.

Belakangan ini, kami biasanya membaca sembari menggambar nirmana sebagai bagian dari studi membuat filem bersama Klub Milisi Filem. Namun tak ayal ketika babak-babak tertentu yang membuat terpingkal atau senyum-senyum dibacakan, seperti babak-babak cerita Annelies Mellema dan Minke, kami pun berhenti sejenak menggambar untuk saling lempar tatap dan tawa. Kami semua sepakat bahwa buku ini adalah salah satu buku novel terbaik yang kami bacakan bersama.

Ragil yang tengah membaca bersama dengan Otty dan Hafiz yang tengah menyimak. Sesi ini dilakukan pada 12 Oktober 2017.

Buku novel ini kurang lebih bertutur tentang seorang Minke, yaitu keturunan Jawa priyayi yang tengah menempuh pendidikan di HBS yang merupakan sekolah orang-orang keturunan Eropa. Dalam perjalanan studinya, Minke menjumpai seorang Nyai yang luar biasa dengan keluarganya yang juga tak biasa. Nyai Ontosoroh, begitulah ia menyebut dirinya, merupakan seorang perempuan yang tidak bersekolah, yang sejak masih gadis dijual orangtuanya hingga menjadi gundik seorang Belanda. Namun alih-alih menjadi gundik tak terdidik seperti perempuan-perempuan lain yang bernasib serupa dengannya, Nyai Ontosoroh justru menjelma menjadi seorang perempuan cerdas yang tangkas dan berpengalaman dalam mengelola bisnis. Anaknya yang bernama Annelies Mellema pun sama-sama piawai dalam menjadi rekan pengelola bisnis. Keduanya hidup dalam sebuah keluarga kaya yang tertutup dan nyaris tak tersentuh khalayak hingga kedatangan Robert Surhof yang membawa serta Minke. Minke dan Annelies saling jatuh hati lalu dimulailah babak-babak cerita tentang kehidupan kolonial melalui tuturan Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh dan melalui orang-orang di sekitar ketiganya. Minke yang cerdas dan terampil menulis lantas belajar banyak dari Nyari Ontosoroh yang luar biasa, menjadikannya kemudian salah satu penulis pribumi yang mampu menulis dalam Bahasa Belanda dengan sangat baik dan pula dikagumi. Ia menjadi kian tajam dalam melihat fenomena kehidupan sebagai warga negara kolonial, bagaimana kondisi yang terjadi kala itu sangat tidak merugikan baginya dan terutama bagi para perempuan seperti Nyai Ontosoroh yang berstatus gundik.

Otty yang tengah membaca pada sesi 5 Oktober 2017.

Salah satu adegan yang paling disukai Otty adalah ketika Minke hendak menikah dan Ibundanya memberikan wejangan-wejangan khas tradisi Jawa. Menurut Otty, Pram menuturkan dengan baik bagaimana di sini perempuan digambarkan sebagai kekuatan kebudayaan sedangkan lelaki sebagai dominasi kekuasaan. Para Bapak hadir sebagai cerminan atas kuasa, dominasi dan hirarki yang begitu sulit dilanggar. Sedangkan para Ibu seperti cerminan atas pengetahuan, ruang belajar dan pemangku kebudayaan serta tradisi. Ada kalanya bagi saya, Pram menuliskan perempuan dengan peran yang teramat luhung atau luhur di sini. Mereka yang memberikan ilmu pengetahuan dalam roman ini, dihadirkan melalui karakter-karakter perempuan yang tak cuma cerdas tetapi juga tangguh. Ibunda Minke, Nyai Ontosoroh, Annelies Mellema hingga Magda Peters yang merupakan seorang Belanda guru Minke di HBS, adalah sosok-sosok berilmu namun berbudi luhur yang tahu persis betapa berilmu adalah bagian dari bekal kemanusiaan. Belajar seperti halnya penyelamat kala itu. Dan mungkin masih pula sangat relevan hingga hari ini, dan mungkin hingga kapanpun.

Zikri yang tengah membaca pada sesi 27 September 2017.

Hanif yang membaca pada sesi 12 Oktober 2017.

Saya sendiri berkali-kali tertohok oleh sebuah kutipan dalam buku ini yang diucapkan melalui tokoh Jean Marais, kawan Minke yang juga merupakan mantan prajurit Perancis sekaligus pelukis, yang berbunyi “Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran”. Kata-kata ini memang sudah seringkali terdengar dimana-mana. Namun ketika membacanya sendiri dan mendengarnya berulang kali menjadi tasbih Minke dalam menghadapi berbagai kepelikan, membuat gaung peringatan dalam kata-kata ini semakin jelas. Seringkali justru yang terpelajarlah yang lupa menjadi adil, baik sejak di pikiran atau bahkan hingga pada perbuatan. Pram, dalam keterasingannya, telah melahirkan sebuah karya yang bicara bukan hanya soal suatu cerita pada sebuah masa kolonialisme, tapi juga tentang kemanusiaan dan pendidikan.

Hafiz Rancajale untuk pertama kalinya ikut membaca. Sesi 12 Oktober 2017.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lentengsetiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

Catatan rujukan penulis:

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Bumi_Manusia diakses pada Selasa, 31 Oktober 2017 pukul 02.27 WIB.



Kisah-kisah Pinggiran dari Lubis

Bulan ini sepertinya bulannya Lubis, ya?

Beberapa orang sempat bertanya-tanya demikian kepada saya sebagai penyelenggara Klub Baca Buku Untuk Semua. Memang, beberapa edisi terakhir ini kami membaca karya-karya sastra yang dibuat oleh Mochtar Lubis. Bukan sebuah kesengajaan sebetulnya untuk membuat sebulan penuh membaca Lubis. Sebetulnya saya lebih ingin menuntaskan koleksi Lubis di perpustakaan sebagai pemanasan membaca karya sastra Indonesia sebelum nantinya beralih ke karya sastra Indonesia lainnya.

Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #26

Pada seri ke-26 ini, Klub Baca Buku Untuk Semua menghadirkan karya Bromocorah sebagai bahan bacaan. Karya yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 1993 ini merupakan antologi duabelas cerita pendek yang ditulis oleh Mochtar Lubis. Tidak jelas persisnya kapan rentang waktu penulisan dari cerita-cerita pendek tersebut, namun secara garis besar kisah-kisah di dalamnya menuturkan tentang orang-orang pinggiran dan perkara identitas di Indonesia pasca kemerdekaan.

Zikri, Dhuha dan Walay. Dhuha tengah membaca sementara Zikri dan Walay mendengarkan sambil membuat nirmana.

Otty, Yonri, Walay, Dhuha, Zikri, Yuki dan Anggra secara bergiliran membacakan satu per satu cerita pendek dalam buku tersebut. Namun kali ini, kegiatan Klub Baca tidak dilaksanakan di Perpustakaan Forum Lenteng, tetapi di ruang tengah Forum Lenteng. Meskipun pelaksanaannya mundur sehari dari rencana semula di tanggal 20 September 2017 menjadi tanggal 21 September 2017, namun antusiasme proses membaca tetap terbangun di antara para peserta yang hadir.

Otty tengah memulai ritual membaca sementara Yonri mendengarkan.

Pembacaan dibuka oleh Otty yang menyebutkan seri Klub Baca, judul buku, pengarang, penerbit, tahun terbit, tanggal pelaksanaan dan nama masing-masing peserta Klub Baca. Kemudian Otty mulai membacakan cerita pendek pertama yang juga menjadi judul dari antologi ini, Bromocorah. Selanjutnya Abu Terbakar Hangus; Hati yang Hampa; Pahlawan; Uang, Uang, Uang, Hanya Uang; Wiski; Dara; Dukun; Hidup Adalah Sebuah Permainan Rolet;Rekanan; Gelas yang Pecah; dan Perburuan dibacakan secara bergantian oleh peserta Klub Baca. Kurang lebih dari jam 19.00 hingga 00.30, kami menuntaskan buku setebal 232 halaman ini.

Yuki membacakan karya berjudul Wiski.

Sesekali kami terpingkal oleh kejenakaan yang sinis dalam karya-karya Lubis. Sesekali kami menanggapi langsung candaan atau ironi dalam cerita-cerita pendek yang dibacakan. Sehingga suasana membaca yang juga diselingi aktivitas membuat nirmana dwimatra sebagai tugas dari Lokakarya Membuat Filem menjadi ramai dan penuh semangat.

Yonri dalam sketsa karya Otty.

Anggra dalam sketsa karya Otty.

Usai pembacaan, beberapa peserta memberi komentar tentang cerita pendek yang mereka sukai. Otty paling menyukai Rekanan. Menurutnya, era awal 80-an sebagaimana yang disebutkan sebagai latar dalam cerita tersebut merupakan tahun-tahun yang menjadi cikal-bakal kelahiran generasi dan kultur yang mendewakan gaya hidup kebaratan dan kemewahan. Korupsi dan nepotisme menjadi sikap-sikap yang tidak terhindarkan terutama pada kalangan perusahaan yang berkait dengan pemerintahan. Sedangkan Yonri sangat menyukai cerita Abu Terbakar Hangus. Menurutnya, dalam cerita tersebut, segala hal bisa dilihat dari perspektif tokoh utama yaitu Safira, yang kemudian menjembatani pengenalan terhadap tokoh-tokoh lainnya, situasi sosial kala itu bahkan termasuk pula situasi politiknya. Bahkan dalam salah satu fragmen cerita, dituturkan bahwa pernikahan tokoh utama pernah melibatkan Perdana Menteri Nehru dari India sebagai penengahnya. Bagi saya, cerita yang disukai Yonri tersebut juga merefleksikan isu identitas yang muncul akibat Safira yang campuran Belanda-Jawa. Sensitivitas akan nasionalitas begitu ditonjolkan dalam keresahan Safira sebagai warga negara campuran. Bahkan keresahan ini pun berdampak pula pada kesulitannya untuk menetap pada seorang pendamping hidup. Hal yang sama pun terjadi dalam cerita Uang,Uang, Uang, Hanya Uang yang menceritakan seorang taipan Tionghoa yang mencintai Indonesia tetapi tak mampu menyampaikannya. Ironi taipan ini pun kemudian dikiaskan bersamaan dengan kerinduannya akan gadis pujaan hatinya di Indonesia. Cintanya pada si gadis dan tanah Indonesia diibaratkan sebagai sebuah cinta yang sama-sama tak terkatakan, apalagi terbalaskan.

Zikri membaca sementara Yuki mendengarkan sambil membuat nirmana.

Cerita terakhir yang berjudul Perburuan cukup mengingatkan kami akan novel Lubis yang sebelumnya kami baca, Harimau! Harimau!  Beberapa dari kami berspekulasi bahwa mungkin dari versi pendek inilah kemudian dikembangkan menjadi novel. Beberapa lainnya berpendapat barangkali malah sebaliknya. Dari semua, menurut saya cerita terakhir inilah yang paling ironis. Tokoh utama yang begitu jagoan, yang hendak segera menikah, malah rupanya harus menemui ajal akibat teriakan yang mengabarkan keberadaan harimau. Padahal, teriakan itu belum tentu benar.

Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #26

 

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***


Catatan tentang Membaca Harimau! Harimau!

Penulis: Prashasti Wilujeng

Pada hari Rabu, 13 September 2017, Harimau! Harimau! (Pustaka Jaya, 1975) menjadi buku kedua karya Mochtar Lubis yang kami baca. Dalam dua setengah putaran selama lima jam, buku setebal 216 halaman ini habis dibaca oleh Pingkan, Anggra, Dhuha, Zikri, Walay, Robby, Rayhan, Asti, dan Otty. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda dengan judul Tiger-Tiger oleh Horlimann. Kemudian pada 1976, novel ini mendapat penghargaan buku fiksi terbaik dari Yayasan Buku Utama.[1]

Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #25 di Perpustakaan Forum Lenteng

Karya penulis berlatar belakang jurnalis  ini dibuka dengan sebuah sajak dari Jose M.A. Capdevilla, yang mungkin diterjemahkan sendiri oleh Mochtar Lubis. Sajak yang singkat namun mencekam, seperti novel yang ditulisnya.

melintas ketakutan lewat sudut
jalan-jalan dan tanah lapang
meratap kengerian
angin lalu

ada yang tidur
yang lain bangun
hati berdebar cemas

turunlah hujan
semuanya teror dan sunyi sepi

 

Suasana kegiatan Klub Baca yang bisanya diwarnai pula dengan kegiatan merekam.

Pingkan tengah mendengarkan Yonri yang membaca.

Mochtar Lubis menggambarkan hubungan antarmanusia, plot, latar, dan suasana lewat watak-watak yang muncul dari tujuh orang pencari damar di hutan: Wak Katok, Pak Balam, Buyung, Sanip, Tabib, Sutan, dan Pak Haji. Perbedaan antara setiap orang, setiap generasi, dan setiap latar belakang diwakilkan di setiap tokohnya. Tokoh-tokoh yang dikumpulkan di tengah hutan, dengan suasana mencekam, yang memunculkan watak-watak asli seseorang. Selama membaca, kami dibuat tertawa terbahak, terdiam, ataupun kesal dengan bagaimana setiap tokoh merespons situasi dan keadaan hidup.

Pingkan, Yonri dan Otty tengah menyimak proses pembacaan oleh salah seorang peserta.

Asti, Rayhan, Robi dan Walay tengah menyimak Zikri yang membaca.

Saat beberapa pembaca ditanya bagian favorit, Pingkan berkata ia paling suka saat penceritaan menggunakan sudut pandang si Harimau. Bagaimana si Harimau berpikir, merasa lapar, dan menyusun taktik untuk menyergap mangsa. Dhuha sangat suka dengan keseluruhan buku ini karena ia pernah merasakan sendiri bagaimana ia berada di tengah hutan dan ketakutan disergap binatang buas. Bagian yang paling ia sukai adalah di bagian menjelang akhir saat Wak Katok dengan sengaja membuat rombongan pencari damar ini hanya berjalan memutar dan tersesat.

Dhuha tengah membacakan bagian tengah dari karya Harimau! Harimau!

Asti yang tengah membaca.

Menurut saya sendiri, Mochtar Lubis menggunakan konflik untuk menggambarkan hubungan antara manusia dengan manusia lain. Wak Katok, misalnya, menggambarkan generasi tua yang karena banyak ilmunya, ia dijjadikan guru oleh banyak orang sehingga menjadi seseorang yang terpandang di kampungnya. Pak Balam, yang sebaya dengan Wak Katok adalah orang yang dihormati oleh warga kampung karena ketaatannya dalam beribadah. Kemudian ada Buyung yang masih berumur sembilan belas tahun, masih muda, satu-satunya yang belum menikah, dan berani serta berpegang teguh pada prinsipnya. Ia merupakan murid pencak Wak Katok. Sanip, yang umurnya lebih tua beberapa tahun daripada Buyung, sudah punya empat orang anak. Sanip adalah orang yang ceria dan selalu berpikir positif. Talib, sebaliknya adalah orang yang pendiam dan pemurung. Sedangkan, Sutan adalah orang yang keras kepala. Pak Haji, yang wataknya baru jelas belakangan, adalah orang yang punya banyak pengalaman. Ia merupakan orang yang skeptis dengan manusia lain karena ia telah banyak melihat bagaimana manusia memakan manusia lain dengan tindakan jahat mereka.

Robi yang membaca dan Zikri yang menyimak.

Belakangan, baru diketahui bahwa Wak Katok adalah seorang pecundang yang egois. Sedangkan Sanip, yang selalu ceria, ternyata pernah banyak melakukan banyak kesalahan. Di sini, Mochtar Lubis menggambarkan manusia sebagai manusia seutuhnya, yang mempunyai ketakutan dan kesalahan. Manusia yang tidak digambarkan dengan hebat dan heroik.

Otty yang merupakan pencetus ide Klub Baca ini turut pula membacakan bagian-bagian karya Mochatr Lubis ini.

Usai membaca buku ini, Otty mengemukakan bahwa ia sangat suka buku ini karena penuturannya sangat filmis. Sudut pandang yang awalnya berasal dari Buyung, pindah ke Harimau, pindah lagi ke Wak Katok, lalu pindah lagi ke Buyung. Narasi dibacakan tidak hanya selalu dari sudut pandang orang ketiga, tapi berpindah juga ke orang pertama.

Suasana pelaksanaan kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #25.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

Sketsa karya Yonri yang dibuat selama proses pembacaan.

Daftar Rujukan:

[1] http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Harimau-Harimau | Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


Membaca Jalan Panjang Kemanusiaan

Setelah beberapa waktu terjeda oleh berbagai kesibukan pekan seni dan festival filem, Klub Baca Buku Untuk Semua akhirnya dilaksanakan kembali untuk menyegarkan kembali hadirinnya. Dilaksanakan pada 7 September 2017, KBBUS edisi ke-24 mengambil buku karya Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, sebagai bahan bacaan bersama kala itu. Dimulai pada pukul 19.35 dan berakhir pada pukul 24.00, prosesi pembacaan ini dihadiri oleh Anggra, Zikri, Asti, Pingkan, Ragil, Hanif, Dhuha serta kawan-kawan baru dari ARKIPEL yaitu Raras, Panji, Robi dan Walai. Meskipun beberapa kawan kemudian perlu pulang lebih awal karena satu dan lain hal, namun buku setebal 165 halaman tersebut pada akhirnya usai dibacakan bergilir oleh para hadirin yang berkumpul di Perpustakaan Forum Lenteng.

Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #24 di Perpustakaan Forum Lenteng.

Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Pustaka pada tahun 2001 ini sebetulnya diterbitkan pertama kali pada tahun 1952 oleh Balai Pustaka. Karya ini dianggap sebagai salah satu karya terbaik Mochtar Lubis dan sempat mendapat penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Karya ini menukil sebuah kisah kehidupan seorang guru sekolah, Guru Isa, yang terus menerus mengalami ketakutan namun kemudian justru melibatkan diri membantu gerilyawan Indonesia pada tahun-tahun ketika NICA kembali datang pasca Proklamasi Kemerdekaan.

Kanan ke kiri: Pingkan, Zikri dan Raras. Zikri tengah membacakan buku Jalan Tak Ada Ujung sementara peserta baca lainnya menyimak.

Kanan ke kiri: Robi dan Panji. Panji tengah membaca sementara Robi menyimak sembari membuat sketsa di meja.

Dhuha tengah membaca sementara terlihat Asti dan Ragil tengah menyimak.

Ketakutan yang dialami Guru Isa sebetulnya bukan cuma soal ditangkap NICA namun juga tentang bagaimana ia, sebagai lelaki, yang tak mampu lagi memenuhi kebutuhan Fatimah – istrinya. Ketakutan tersebut menjadi suatu perkara kompleks yang kerap termanifestasi melalui mimpi-mimpi buruk Guru Isa. Pada kisahnya, Guru Isa kemudian berjumpa dengan Hazil, seorang anak muda berbakat dengan ideologi kemerdekaan yang kuat, yang segala ciri dirinya adalah apa yang Guru Isa hasrati namun tak dapat ia capai. Akan tetapi pada akhir cerita, justru segalanya serba berkebalikan dan melalui jalan panjang yang tak mudah, Guru Isa akhirnya mampu berdamai dengan ketakutannya dan hidup berdampingan dengannya.

Tangkapan dari dalam Instagram Pingkan yang tengah menyiarkan secara langsung kegiatan Klub Baca.

Ragil yang tengah membaca, di dalam dan di luar bingkai Instagram live.

Pingkan, Zikri dan Asti paling menyukai adegan ketika Guru Isa dan Hazil berada dalam sel penjara dan bagaimana kemudian Guru Isa mulai belajar berdamai dengan ketakutannya. Pingkan juga menyukai adegan ketika Guru Isa bercakap-cakap dengan Salim kecil yang tengah ketakutan karena kamar yang gelap. Menurutnya, di sana Guru Isa menunjukkan sikap empatik terhadap segala jenis ketakutan tanpa menganggap remeh satu pun. Saya pribadi pun menyukai kedua adegan tersebut di atas serta menggarisbawahi transisi dimana Guru Isa melihat bahwa ketakutan di satu sisi adalah hal yang personal namun di sisi lain adalah hal yang sangat manusiawi dan setiap orang harus belajar hidup dengannya. Kemanusiaan di sana bukan lagi cuma soal kebebasan dan kemerdekaan, namun juga ketakutan-ketakutan yang secara nyata sering menjadi tantangan bagi martabat manusia itu sendiri. Sehingga jalan panjang yang terbentang sebetulnya bukan cuma soal perjuangan atas kebebasan namun juga atas usaha-usaha untuk mengumpil martabat sebagai manusia dengan nilai kemanusiannya.

Raras dan Zikri yang sama-sama menyimak pembacaan sembari membuat sketsa-sketsa di meja.

Selain menyimak pembacaan buku, para peserta biasanya membuat sketsa di atas meja.

Selain isu mengenai ketakutan dan kemanusiaan, agaknya karya ini juga menarasikan bagaimana lelaki melihat dan mengatasi kegelisahan-kegelisahan dalam dirinya. Melalui refleksi diri Guru Isa yang intens, pembaca dihantar pula untuk melihat bagaimana lelaki melihat dirinya dan melihat diri perempuan. Ketakutan Guru Isa adalah sebuah ketakutan maskulin yang dimulai pada isu yang sangat primitif namun kemudian menjangkau pula pada isu tentang lepasnya kendali dan kuasa dirinya atas hidup. Percintaan yang kemudian terjadi antara Hazil dan Fatimah justru adalah potret bagaimana lelaki melihat keidealan maskulin itu sendiri, bagaimana lelaki melihat apa yang ideal dari dan bagi feminitas perempuan serta bagaimana ketakutan Guru Isa adalah hal yang berada di luar keidealan maskulin itu sendiri.

Kanan ke kiri: Asti, Walai dan Ragil. Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #24.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***


Membaca Malam Elie Wiesel

Sebetulnya, kisah-kisah tentang apa yang terjadi pada kaum Yahudi di era kekuasaan Nazi di Jerman dan Eropa Timur di tahun 40-an sudah banyak kita dengar, tonton dan baca. Namun tetap saja, menjumpainya lagi pada sebuah buku cerita atau filem masih membuat kuduk merinding maupun perut mual. Walau demikian, toh kejadian-kejadian bengis seperti yang pernah berlangsung terhadap kaum Yahudi hingga hari ini masih saja terjadi, meski dengan intensitas kengerian yang tidak lagi setara dengan apa yang dikisahkan pernah terjadi di Auschwitz , Buna maupun Buchenwald.

Barangkali, keberadaan aksi-aksi bengis tersebut di hari-hari ini jugalah yang membuat kegiatan membaca novel Malam (Yayasan Obor Indonesia, 1988) karya  Elie Wiesel ini masih relevan. Bahkan, Mochtar Lubis sendiri dalam pengantar buku ini menyatakan dengan jelas bahwa menerbitkan Malam adalah sebuah aksi mengingatkan sesama untuk berbuat manusiawi dan melandaskan diri pada kasih sayang di tengah kemelut aksi memusnahkan sesama manusia. Pengingat ini juga berlaku bagi mereka yang pernah menjadi korban dan kini bertindak sebagai salah satu pelaku pula.

 

Dhuha membacakan novel Malam karya Elie Wiesel

Di sesi ke-23 Klub Baca Buku Untuk Semua yang dilaksanakan pada Rabu, 21 Juni 2017 pukul 21.00 ini, Pingkan, Dhuha, Anggra, Rayhan, Ario dan Ika hadir untuk membacakan Malam. Namun kali ini kami membaca bukan di Perpustakaan Forum Lenteng melainkan di halaman belakang Forum Lenteng. Buku ini kelihatannya memang tipis, yaitu hanya setebal 120 halaman, namun isinya yang sarat kekelaman membuat 3 jam sesi membaca terasa sangat ngilu dan berat.

Pingkan yang tengah membacakan Malam pada sesi ke-23 Klub Baca Buku Untuk Semua

Tak satupun dari kami menangis apalagi histeris. Pembacaan bisa dilakukan dengan khidmat meski sesekali ada yang sempat mual akibat membayangkan adegan daging manusia yang terbakar dan cerobong yang mengeluarkan asap berbau busuk. Beberapa yang lain geleng-geleng kepala pada kisah-kisah ngeri yang dibacakan. Pada kenyataannya, peristiwa serupa sampai hari ini masih terjadi di berbagai tempat dalam berbagai bentuk. Ini mungkin membuat kami tak lagi heran dengan level kebengisan yang bisa dicapai manusia meski tentu tetap mengejutkan mendengarnya.

Suasana membaca di Klub Baca Buku Untuk Semua #23 (kiri ke kanan: Dhuha dan Rayhan)

Dhuha merasa bagian cerita paling menohok ialah ketika ada salah seorang kawan yang berujar bahwa istrinya masih hidup. Saya sendiri terperangah pada cerita Elie mengenai prosesi penggantungan seorang anak laki-laki yang konon memiliki raut wajah malaikat yang sedih. Elie mendeskripsikan peristiwa itu layaknya laporan saja; lugas dan tanpa frasa yang sayu. Tapi kelugasannya itu malah membuat pilu, sebab ada kesan keterbiasaan pada sesuatu yang jelas di luar kebiasaan tersebut. Atau mungkin, apa yang biasa dan tak biasa bagi kita dan Elie yang hidup di kamp kala itu juga telah menjadi hal yang berbeda. Otty seusai pembacaan sempat membagi pengalamannya membaca buku ini. Ia selalu teringat adegan dimana Ayah Eliezer sekarat dan kemudian mati menjelang pembebasan tahanan di kamp. Jika ditarik pada isu yang lebih personal, barangkali selain menyinggung kemanusiaan, buku ini juga menyinggung memori tentang kehilangan dalam diri pembacanya. Sebagaimana pula yang dialami dan diceritakan oleh Elie lewat bukunya.

Suasana membaca di Klub Baca Buku Untuk Semua #23 disertai live via intasgram (kiri ke kanan: Pingkan dan Ario)

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***