Membaca Jalan Panjang Kemanusiaan

Setelah beberapa waktu terjeda oleh berbagai kesibukan pekan seni dan festival filem, Klub Baca Buku Untuk Semua akhirnya dilaksanakan kembali untuk menyegarkan kembali hadirinnya. Dilaksanakan pada 7 September 2017, KBBUS edisi ke-24 mengambil buku karya Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, sebagai bahan bacaan bersama kala itu. Dimulai pada pukul 19.35 dan berakhir pada pukul 24.00, prosesi pembacaan ini dihadiri oleh Anggra, Zikri, Asti, Pingkan, Ragil, Hanif, Dhuha serta kawan-kawan baru dari ARKIPEL yaitu Raras, Panji, Robi dan Walai. Meskipun beberapa kawan kemudian perlu pulang lebih awal karena satu dan lain hal, namun buku setebal 165 halaman tersebut pada akhirnya usai dibacakan bergilir oleh para hadirin yang berkumpul di Perpustakaan Forum Lenteng.

Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #24 di Perpustakaan Forum Lenteng.

Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Pustaka pada tahun 2001 ini sebetulnya diterbitkan pertama kali pada tahun 1952 oleh Balai Pustaka. Karya ini dianggap sebagai salah satu karya terbaik Mochtar Lubis dan sempat mendapat penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Karya ini menukil sebuah kisah kehidupan seorang guru sekolah, Guru Isa, yang terus menerus mengalami ketakutan namun kemudian justru melibatkan diri membantu gerilyawan Indonesia pada tahun-tahun ketika NICA kembali datang pasca Proklamasi Kemerdekaan.

Kanan ke kiri: Pingkan, Zikri dan Raras. Zikri tengah membacakan buku Jalan Tak Ada Ujung sementara peserta baca lainnya menyimak.

Kanan ke kiri: Robi dan Panji. Panji tengah membaca sementara Robi menyimak sembari membuat sketsa di meja.

Dhuha tengah membaca sementara terlihat Asti dan Ragil tengah menyimak.

Ketakutan yang dialami Guru Isa sebetulnya bukan cuma soal ditangkap NICA namun juga tentang bagaimana ia, sebagai lelaki, yang tak mampu lagi memenuhi kebutuhan Fatimah – istrinya. Ketakutan tersebut menjadi suatu perkara kompleks yang kerap termanifestasi melalui mimpi-mimpi buruk Guru Isa. Pada kisahnya, Guru Isa kemudian berjumpa dengan Hazil, seorang anak muda berbakat dengan ideologi kemerdekaan yang kuat, yang segala ciri dirinya adalah apa yang Guru Isa hasrati namun tak dapat ia capai. Akan tetapi pada akhir cerita, justru segalanya serba berkebalikan dan melalui jalan panjang yang tak mudah, Guru Isa akhirnya mampu berdamai dengan ketakutannya dan hidup berdampingan dengannya.

Tangkapan dari dalam Instagram Pingkan yang tengah menyiarkan secara langsung kegiatan Klub Baca.

Ragil yang tengah membaca, di dalam dan di luar bingkai Instagram live.

Pingkan, Zikri dan Asti paling menyukai adegan ketika Guru Isa dan Hazil berada dalam sel penjara dan bagaimana kemudian Guru Isa mulai belajar berdamai dengan ketakutannya. Pingkan juga menyukai adegan ketika Guru Isa bercakap-cakap dengan Salim kecil yang tengah ketakutan karena kamar yang gelap. Menurutnya, di sana Guru Isa menunjukkan sikap empatik terhadap segala jenis ketakutan tanpa menganggap remeh satu pun. Saya pribadi pun menyukai kedua adegan tersebut di atas serta menggarisbawahi transisi dimana Guru Isa melihat bahwa ketakutan di satu sisi adalah hal yang personal namun di sisi lain adalah hal yang sangat manusiawi dan setiap orang harus belajar hidup dengannya. Kemanusiaan di sana bukan lagi cuma soal kebebasan dan kemerdekaan, namun juga ketakutan-ketakutan yang secara nyata sering menjadi tantangan bagi martabat manusia itu sendiri. Sehingga jalan panjang yang terbentang sebetulnya bukan cuma soal perjuangan atas kebebasan namun juga atas usaha-usaha untuk mengumpil martabat sebagai manusia dengan nilai kemanusiannya.

Raras dan Zikri yang sama-sama menyimak pembacaan sembari membuat sketsa-sketsa di meja.

Selain menyimak pembacaan buku, para peserta biasanya membuat sketsa di atas meja.

Selain isu mengenai ketakutan dan kemanusiaan, agaknya karya ini juga menarasikan bagaimana lelaki melihat dan mengatasi kegelisahan-kegelisahan dalam dirinya. Melalui refleksi diri Guru Isa yang intens, pembaca dihantar pula untuk melihat bagaimana lelaki melihat dirinya dan melihat diri perempuan. Ketakutan Guru Isa adalah sebuah ketakutan maskulin yang dimulai pada isu yang sangat primitif namun kemudian menjangkau pula pada isu tentang lepasnya kendali dan kuasa dirinya atas hidup. Percintaan yang kemudian terjadi antara Hazil dan Fatimah justru adalah potret bagaimana lelaki melihat keidealan maskulin itu sendiri, bagaimana lelaki melihat apa yang ideal dari dan bagi feminitas perempuan serta bagaimana ketakutan Guru Isa adalah hal yang berada di luar keidealan maskulin itu sendiri.

Kanan ke kiri: Asti, Walai dan Ragil. Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #24.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

Klub Baca #24: Jalan Tak Ada Ujung
Klub Baca #25: Harimau! Harimau!