Menuntaskan Cerita dari Jakarta

Penulis: Anggraeni Widhiasih Editor: Manshur Zikri

Pertemuan ke-5 Klub Baca Buku Untuk Semua, Perpustakaan dan Mediatek Forum Lenteng, akhirnya terlaksana dengan kembali melanjutkan buku kumpulan cerpen karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Cerita dari Jakarta (terbitan Hasta Mitra, 2002). Babak ke-2 pembacaan karya sastra ini mulanya hanya diikuti oleh saya, Zikri, dan Pingkan. Tapi ketika malam beranjak kian larut, peserta lainnya bermunculan dan turut serta meriuhkan pembacaan karya Pram yang pertama kali terbit tahun 1957 ini. Asti dan Otty yang datang menyusul pun turut membaca secara bergilir, menuntaskan dua belas cerpen yang ada dalam antologi karya Pram tersebut.

Maka, garasi rumah Otty Widasari yang menjadi lokasi Perpustakaan Forum Lenteng pun kembali riuh pada Kamis malam, 15 Desember, 2016 itu. Semakin membalikkan lembaran-lembaran buku ke halaman terakhir, maka semakin terbayangkanlah suasana Jakarta pada kurun waktu tahun 1948 hingga 1956 lewat tuturan kata Pram. Lewat kepiawaiannya menyusun cerita itulah kami semakin dipesonakan oleh cerita tentang Jakarta tempo dulu. Deskripsinya yang luar biasa kaya dan wawasan kosa katanya yang melimpah sangat tercermin lewat 206 halaman antologi cerpen yang terbit di Jogja ini.

Melalui Whatsapp, saya pun sempat bertanya pada Pingkan soal cerita mana yang jadi kesukaannya.

Pingkan
Gambir sama satu lagi yang gua baca, lupa.
Aduh eug (baca: gue—red) lupa.
2 kata deh, coba liatin judul yg dua kata.

Anggra
(Mengirim foto daftar isi buku Cerita dari Jakarta)
Tanpa Kemudian, ya?

Pingkan
Iyak betul. Itu sama Gambir.
Dua-duanya filemis.
Kalo gambir gua bisa mainkan intonasi dan logat saat membaca. Ada ketinampilan saat pembacaan.
Kalo Nana (nama tokoh dalam cerita Tanpa Kemudian—red), sih, plotnya oke dan mainin pikiran hahaha

Asti pun menyukai satu judul yang sama dengan kesukaan Pingkan, yaitu Gambir. “Penggambarannya paling detil. Tapi gue juga suka yang Jongos dan Babu karena dengan isi yang rumit namun bisa diceritakan dengan sederhana.”

Anggraeni.

Pingkan.

Otty.

Asti.

Zikri.

Saya pun punya pandangan yang sama, bahwa cerita-cerita Pram di buku ini sebetulnya punya isi yang cukup kompleks. Ia berbincang tak cuma soal masyarakat kolonial tapi juga soal kelas sosial dan sosial dari masyarakat Indonesia – terutama Jakarta- pada masa-masa ketika cerpen tersebut ditulis. Semuanya dirangkum dalam cerita keseharian yang “pendek” dan terasa sederhana.

Di cerita Biangkeladi misalnya. Pram tak cuma mendeskripsikan hidup seorang pejabat yang korup tapi juga bicara soal moralitas sosial yang sebetulnya juga turut dalam hingar bingar popularitas yang banal. Tapi ketika beranjak pada cerita Gambir, kita akan tertegun melihat gaya bahasa Pram yang tetiba sangat berbeda dibanding ke-11 cerpen lainnya di buku ini namun masih tetap kaya akan deskripsi. Meskipun tentu saja ketika membacakan cerpen-cerpen ini mau tak mau lidah akan sedikit terpelintir akibat kosa kata yang kadang nampak tak biasa.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membacakan karya-karya sastra lain yang dikoleksi Perpustakaan Forum Lenteng. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

Membacakan dan Mendengarkan Jakarta
Klub Baca #6: Lu Xun; Catatan Harian Seorang Gila dan Cerita Pendek Lainnya