Sebuah Neraka ala Sartre

Penulis: Anggraeni Widhiasih

Membaca itu susah-susah gampang. Kalau bacaannya menarik dan kita tertarik, maka membaca biasanya jadi lebih gampang. Kalau bacaannya menarik tapi kita tidak tertarik, mungkin akan terasa sedikit susah. Apalagi kalau bacaannya tidak menarik dan kita tidak tertarik, pasti membaca jadi sangat susah meskipun bacaan itu punya muatan yang penting untuk diasup. Begitu pula dengan mendengarkan. Sekilas, sepertinya ia mudah. Tetapi sebetulnya, proses mendengarkan pun punya level tantangan yang juga tidak bisa disepelekan. Sebab ia sungguh membutuhkan kesediaan untuk menerima informasi sekaligus konsentrasi untuk mencernanya, terutama ketika sudah terterpa kantuk dan bosan.

Tiap Rabu malam, beberapa anggota Forum Lenteng biasanya berkumpul di Perpustakaan Forum Lenteng untuk membaca karya-karya sastra dunia bersama-sama. Seseorang akan membacakan karya tersebut dan yang lainnya akan mendengarkan sembari ‘membaca’ karya tersebut dengan cara lainnya. Proses ini dirotasi kepada seluruh peserta yang datang ke Klub Baca hingga buku tersebut tuntas dibacakan.

Maria, Zikri dan Ika mendengarkan Fauzan ‘Padang’ membacakan Pintu Terutup.

Rabu, 22 Maret 2017 kemarin adalah giliran karya Jean-Paul Sartre yang kami bacakan. Setelah belakangan sempat membacakan karya Knut Hamsun dan Albert Camus, kini Klub Baca mengajak partisipannya untuk menyambangi karya Sartre yang berjudul Pintu Tertutup (Pustaka Jaya, 1984). Ika, Zikri, Maria, Fauzan ‘Padang’, Otty dan Anggra menyanggupi ajakan tersebut. Kami memulai pembacaan Pintu Tertutup pada pukul 19.30 dan menandaskannya sekitar pukul 21.30. Seperti biasanya, pembacaan ini kami lakukan di garasi rumah Otty yang juga dijadikan lokasi Perpustakaan Forum Lenteng.

Maria, peserta magang yang juga beberapa kali mengikuti Klub Baca sembari kadang belajar melukis.

Pintu Tertutup adalah salah satu karya terpendek yang pernah dibacakan di Klub Baca. Namun jangan salah, membacakan karya ini bukanlah perihal yang mudah. Sebab karya yang ditulis saat Sartre berusia 39 tahun di tahun 1944 ini sebetulnya berbentuk naskah pertunjukan teater. Alhasil, pembacaan pun harus menyesuaikan dengan keberadaan penanda nama karakter sekaligus tanda titik duanya.

Sebagai sebuah naskah pertunjukan teater, Pintu Tertutup menyertakan karakter yang jumlahnya tidak banyak. Ia hanya bercerita tentang 3 orang yang jiwanya terkutuk yang bernama Garcin, Inez dan Estelle. Awalnya,ketiga orang itu berpikir bahwa masing-masing akan menerima siksaan sepanjang zaman, selayaknya dalam neraka. Alih-alih, ketiga nya justru ditempatkan pada suatu ruang kosong bersama-sama.

Zikri yang tengah membacakan Pintu Tertutup .

Mulanya tak seorang pun mengakui bahwa dirinya, sebetulnya, telah melakukan satu, dua atau bahkan sejumlah kejahatan yang membuat jiwanya terkutuk. Hingga akhirnya pengakuan mengalir dari ketiga orang tersebut. Masing-masing menceritakan tindakan jahat yang diperbuat selagi masih hidup di dunia. Namun rupanya, pengakuan itu tak mampu meredakan kondisi dimana keberadaan yang satu adalah siksaan bagi yang lainnya. Baik Garcin, Inez maupun Estelle terus merasa tersiksa oleh keberadaan yang lain, namun tak juga mampu pergi meninggalkan satu sama lain. Bahkan ketika pintu ruang yang tertutup itu terbuka, tidak satu pun kuasa ataupun hendak beranjak dari sana meninggalkan yang lainnya. Pada akhirnya, ketiadaan jalan keluar sebetulnya bukanlah dibuat oleh situasi melainkan oleh diri sendiri.

Selain Garcin, Inez dan Estelle, terdapat satu karakter lagi yang keberadaannya tidak terlalu menonjol. Yaitu seorang pengawal misterius yang mengantarkan ketiga orang tersebut masuk ke dalam ruangan dan menjawab sejumlah pertanyaan dari ketiga orang tersebut. Akan tetapi, saya pribadi sebetulnya bertanya-tanya tentang keberadaan pengawal tersebut

Ika yang sedang membaca bersama kamera-kamera eksperimen yang merekam dan menyiarkan proses membaca secara langsung.

Pintu Tertutup adalah salah satu karya Sartre yang menjadi medianya untuk berbicara mengenai pemikiran Eksistensialisme. Konon, karya ini juga merupakan refleksi Sartre terkait Perang Dunia II dan kekalahan yang diderita Perancis semasa peperangan tersebut. Karya ini juga menjadi salah satu karya yang sangat terkenal seiring dengan signifikannya pemikiran Sartre terkait Eksistensialisme.

Ada beberapa bagian yang menjadi favorit kami. Otty paling suka bagian ketika Garcin mengatakan bahwa neraka ialah orang lain. Perkataan tersebut menjadi kesimpulan Garcin ketika ia menyadari bahwa sebetulnya neraka justru tidak terletak di luar ruangan tersebut, melainkan pada keberadaan mereka sendiri. Sedangkan saya paling suka adegan ketika Estelle terus mencari-cari cermin untuk meyakinkan esensi keberadaan dirinya yang ia pikir tidak sedang berada di neraka. Meski ini adalah bacaan yang tidak mudah, namun pada akhirnya kami menuntaskan buku dan memahami sejumlah konsep yang ditawarkan. Salah satunya adalah tentang keterkaitan kesimpulan Garcin yang disukai Otty dengan situasi masa kini. Neraka bukan lagi sesuatu yang jauh, tapi ada di sini, di keberadaan orang lain bagi diri kita.

Gambar rekaman Otty yang sedang membaca. Ia sangat suka simpulan dari Garcin.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***


Klub Baca #16: Pintu Tertutup

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, mengadakan kegiatan baca bersama, buku novel karya Jean-Paul Sartre, berjudul Pintu Tertutup (Pustaka Jaya, 1984).

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 22 Maret 2017, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!

 

Jean-Paul Sartre adalah penulis Perancis yang terkenal sebagai tokoh filsafat eksistensialisme – sebuah aliran filsafat yang mashur di Eropa setelah Perang Dunia II. Dalam karya-karyanya yang berupa novel, drama dan esai, ia menjelaskan teorinya bahwa hidup tak mempunyai makna atau maksud di luar tujuan yang dicita-citakan bagi dirinya sendiri. Ia menolak hadiah Nobel untuk sastra tahun 1964, dengan alasan bahwa bagi pembaca hadiah itu secara tak langsung menambahkan sesuatu pengaruh pada kekuatan kata-kata pengarang, dan itu dianggapnya tidak jujur.

Sartre lahir pada tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia pernah mengajar ilmu filsafat pada beberapa Sekolah Tinggi, kemudian menjalani wajib militer dalam PD II. Meskipun tertangkap oleh tentara Jerman, tetapi dapat meloloskan diri dan menjadi pemimpin gerakan perlawanan di bawah tanah. Setelah PD II ia terjun dalam gerakan politik, dan di tahun 1946 menerbitkan majalah sastra dan politik Les Temps Moderne.

Karangannya yang terkenal a.l. novel La Nausee (Kemuakan), empat cerita pendek yang terbit di bawah satu judul Le Mur (Dinding), dan drama Les Mains Sales ( Tangan kotor), Les Sequestres d’Altona (Kutuk Altona), dan Huis Clos (Pintu Tertutup). 

PINTU TERTUTUP melambangkan hidup manusia yang seakan-akan dikodratkan menempati sebuah ruangan yang tertutup dan terbatas, memuakkan, tanpa cermin, tanpa jendela – sebuah uraian teori eksistensialisme Sartre.

[Dipetik dari sampul belakang buku]