Membaca Malam Elie Wiesel

Sebetulnya, kisah-kisah tentang apa yang terjadi pada kaum Yahudi di era kekuasaan Nazi di Jerman dan Eropa Timur di tahun 40-an sudah banyak kita dengar, tonton dan baca. Namun tetap saja, menjumpainya lagi pada sebuah buku cerita atau filem masih membuat kuduk merinding maupun perut mual. Walau demikian, toh kejadian-kejadian bengis seperti yang pernah berlangsung terhadap kaum Yahudi hingga hari ini masih saja terjadi, meski dengan intensitas kengerian yang tidak lagi setara dengan apa yang dikisahkan pernah terjadi di Auschwitz , Buna maupun Buchenwald.

Barangkali, keberadaan aksi-aksi bengis tersebut di hari-hari ini jugalah yang membuat kegiatan membaca novel Malam (Yayasan Obor Indonesia, 1988) karya  Elie Wiesel ini masih relevan. Bahkan, Mochtar Lubis sendiri dalam pengantar buku ini menyatakan dengan jelas bahwa menerbitkan Malam adalah sebuah aksi mengingatkan sesama untuk berbuat manusiawi dan melandaskan diri pada kasih sayang di tengah kemelut aksi memusnahkan sesama manusia. Pengingat ini juga berlaku bagi mereka yang pernah menjadi korban dan kini bertindak sebagai salah satu pelaku pula.

 

Dhuha membacakan novel Malam karya Elie Wiesel

Di sesi ke-23 Klub Baca Buku Untuk Semua yang dilaksanakan pada Rabu, 21 Juni 2017 pukul 21.00 ini, Pingkan, Dhuha, Anggra, Rayhan, Ario dan Ika hadir untuk membacakan Malam. Namun kali ini kami membaca bukan di Perpustakaan Forum Lenteng melainkan di halaman belakang Forum Lenteng. Buku ini kelihatannya memang tipis, yaitu hanya setebal 120 halaman, namun isinya yang sarat kekelaman membuat 3 jam sesi membaca terasa sangat ngilu dan berat.

Pingkan yang tengah membacakan Malam pada sesi ke-23 Klub Baca Buku Untuk Semua

Tak satupun dari kami menangis apalagi histeris. Pembacaan bisa dilakukan dengan khidmat meski sesekali ada yang sempat mual akibat membayangkan adegan daging manusia yang terbakar dan cerobong yang mengeluarkan asap berbau busuk. Beberapa yang lain geleng-geleng kepala pada kisah-kisah ngeri yang dibacakan. Pada kenyataannya, peristiwa serupa sampai hari ini masih terjadi di berbagai tempat dalam berbagai bentuk. Ini mungkin membuat kami tak lagi heran dengan level kebengisan yang bisa dicapai manusia meski tentu tetap mengejutkan mendengarnya.

Suasana membaca di Klub Baca Buku Untuk Semua #23 (kiri ke kanan: Dhuha dan Rayhan)

Dhuha merasa bagian cerita paling menohok ialah ketika ada salah seorang kawan yang berujar bahwa istrinya masih hidup. Saya sendiri terperangah pada cerita Elie mengenai prosesi penggantungan seorang anak laki-laki yang konon memiliki raut wajah malaikat yang sedih. Elie mendeskripsikan peristiwa itu layaknya laporan saja; lugas dan tanpa frasa yang sayu. Tapi kelugasannya itu malah membuat pilu, sebab ada kesan keterbiasaan pada sesuatu yang jelas di luar kebiasaan tersebut. Atau mungkin, apa yang biasa dan tak biasa bagi kita dan Elie yang hidup di kamp kala itu juga telah menjadi hal yang berbeda. Otty seusai pembacaan sempat membagi pengalamannya membaca buku ini. Ia selalu teringat adegan dimana Ayah Eliezer sekarat dan kemudian mati menjelang pembebasan tahanan di kamp. Jika ditarik pada isu yang lebih personal, barangkali selain menyinggung kemanusiaan, buku ini juga menyinggung memori tentang kehilangan dalam diri pembacanya. Sebagaimana pula yang dialami dan diceritakan oleh Elie lewat bukunya.

Suasana membaca di Klub Baca Buku Untuk Semua #23 disertai live via intasgram (kiri ke kanan: Pingkan dan Ario)

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

 

 

 


Klub Baca #23: Malam

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, mengadakan kegiatan baca bersama, buku karya Elie Wiesel, berjudul Malam (Yayasan Obor Indonesia, 1988).

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 21 Juni 2017, pukul 20:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!

Malam, dengan cara penulisannya yang bersahaja, mengungkapkan pengalaman seorang anak Yahudi yang mengalami penderitaan selama berada di dalam kamp Nazi, dengan menyaksikan kematian keluarganya satu persatu. Dan hanya mukjizat yang telah menyelamatkannya dari tungku api yang siap menerima makhluk hidup sebagai bahan bakarnya.

[Dipetik dari sampul belakang buku]

 


Menelusuri Sejarah Dunia ala Gombrich

Penulis: Anggraeni Widhiasih

“Anak-anak yang beruntung akan dibacakan buku ini. Orang dewasa yang cerdas akan membacanya sendiri dan terbangkitkan kembali ikatannya pada semangat kemanusiaan.” – Wall Street Journal

Suasana pembacaan Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda tanggal 3 Mei 2017

Sebagaimana yang diungkapkan kutipan komentar dari sampul buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda (Marjin Kiri, 2015) karya Ernst H. Gombrich, kami mungkin salah satu dari sekian anak-anak yang beruntung yang pernah saling dibacakan dan membacakan buku ini. Karya sejarah yang tidak terasa seperti buku sejarah ini memuat penulisan sejarah dunia yang terrangkum dalam 40 bab, dimulai dari era sejarah awal bumi sebelum kehadiran manusia dan diakhiri dengan sebuah ulasan tentang Perang Dunia II dan akhir Perang Dingin. Ulasan yang merangkum lebih dari 4000 tahun sejarah manusia ini terbit pertama kali di tahun 1936 dan sempat dilarang beredar di Jerman pada saat rezim Nazi berkuasa. Namun kini, ia telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa dan terjual sedikitnya 6 juta eksemplar (keterangan dari buku).

Pingkan dan Zikri tengah mengikuti pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda

Buku setebal 368 halaman ini tandas dalam lima kali sesi baca bersama-sama yaitu pada tanggal 3, 10, 24, 31 Mei dan 14 Juni 2017 di Perpustakaan Forum Lenteng yang melibatkan di antaranya Zikri, Pingkan, Aryo, Ragil, Ampyang, Melisa, Renal, Delva, Anggra, Otty, Rayhan, Hanif, Ika, Abi, Dhuha, Eka dan Asti. Biasanya, satu orang akan membacakan satu bab sejarah sementara yang lain mendengarkan dan lingkaran proses membaca berlangsung satu atau dua kali putaran dengan durasi terlama ialah 4 jam. Formasi peserta ini memang tidak selalu komplit sebab kadang-kadang para peserta berhalangan datang dan akhirnya mengikuti sesi pengulangan di luar tanggal-tanggal yang disebutkan di atas. Tidak jarang kami terpingkal, menjadi sendu, terperangah atau merasa gemas sebab terbawa oleh tutur cerita sejarah yang dituliskan oleh Gombrich dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan apik oleh Elisabeth Soeprapto-Hastrich.

Ampyang, Abi dan Ragil menjadi peserta Klub Baca #18 yang membacakan karya Gombrich

Jika pada bab pertama Gombrich bertutur tentang bumi sebelum kehadiran manusia, pada bab-bab selanjutnya ia bercerita tentang zaman prasejarah dan manusia-manusia purba, peradaban di lembah sungai Nil yaitu Mesir pada sekitar 3.100 tahun sebelum Masehi dan penemuan seni menulis pada era tersebut melalui keberadaan hieroglif serta buku yang terdiri dari lembar-lembar papirus. Kemudian ia bercerita tentang Mesopotamia, huruf paku, Raja Hamurabi dan Nebukadnezar dalam bab 4. Selanjutnya ia memperkenalkan kita kepada bangsa Yahudi dan orang-orang yang membawakan ajaran agama samawi pada permulaan sejarah. Kemudian dalam bab 6 yang hanya sepanjang dua setengah halaman, ia bercerita tentang huruf latin yang kita kenal sekarang sebagai warisan dari orang-orang Fenisia yang tinggal di kota pelabuhan Tirus dan Sidon (sekarang di Lebanon). Gombrich juga bercerita tentang Yunani kuno, Persia yang dipimpin Xerxes, peradaban di India dan di Tiongkok, tentang Iskandar Zulkarnain yang hebat, tentang orang-orang Romawi dan berdirinya peradaban Romawi kuno hingga tentang perkembangan berbagai agama di Eropa, Asia maupun Timur Tengah. Dalam bab-bab lainnya, Gombrich juga menuturkan tentang kerajaan-kerajaan di Eropa yang mulai berkembang, penaklukan-penaklukan yang terjadi, suku-suku pedalaman yang mengalami kolonialisme dan imperialisme hingga perang-perang antar kerajaan dan negara yang terjadi di sepanjang sejarah.

Sesi pembacaan tanggal 10 Mei 2017 di halaman belakang Forum Lenteng bersama Abi, Delva, Ika, Hanif, Ragil dan Anggra.

Salah satu bagian yang paling saya ingat di buku ini ialah mengenai kekuasaan Romawi di Byzantium. Gombrich mengulas perjalanan kekuasaan di Romawi mulai dari zaman Julis Caesar hingga Konstantinus dan Justinianus yang menghasilkan berdirinya kota Konstantinopel yang ternama beserta Hagia Sophia yang menjadi salah satu peninggalan penting sejarah seni rupa era Byzantium. Ulasan ini kemudian mengingatkan pada pelajaran-pelajaran mengenai Sejarah Seni Rupa Barat yang pernah dipaparkan Hafiz Rancajale setiap Senin sore. Bahwa rupanya awal perkembangan seni rupa Barat yang sangat terinspirasi dari kejayaan seni dan sastra era Yunani justru dimulai dari era Romawi dan berkembang mulanya dari ikon-ikon atau gambar-gambar yang menceritakan tentang kisah Alkitab yang dibuat di katakombe, yaitu sebuah ruang atau kuburan bawah tanah yang dulunya digunakan sebagai tempat berkumpul orang-orang kudus ketika Kristen masih terlarang di Romawi. Sehingga tak heran jika pada abad ke-8 hingga 14 Masehi atau sebelum era Pencerahan, karya-karya seni sangat mengacu pada tujuan ketuhanan dan identik dengan gambar-gambar ikon yang mana masih bisa dijumpai jejaknya pada Hagia Sophia hari ini.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sementara itu, Zikri sempat mengatakan bahwa ia sangat suka bagian awal buku tentang bumi sebelum keberadaan manusia. Ia juga menyukai bagian-bagian akhir buku ketika Gombrich menggambarkan melihat kembali sejarah masa lalu sebagai suatu pengalaman melihat aliran sungai dari ketinggian. Ia terkesan pada cara penggambaran Gombrich dalam menuturkan peristiwa melihat masa lalu.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Sedangkan Asti paling menyukai bab-bab tentang transisi dari era Kegelapan menuju era Pencerahan. Menurutnya, istilah Kegelapan dan Pencerahan ternyata sangat Eurosentris sebab di kala Eropa tengah mengalami kegelapan, di Timur Tengah justru pengetahuan sudah mulai berkembang dan tercatat dengan baik. Pencerahan di Eropa terjadi justru setelah orang-orang Eropa yang baru kembali dari Timur Tengah membawa pengetahun dari sana ke tanah Eropa. Artinya, perspektif tentang gelap-terang sangat berpusat pada perkembangan sejarah pengetahuan dari sudut pandang Eropa saja.

Sketsa tentang pembacaan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda oleh Otty Widasari.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***