Klub Baca #17: Rekam Media bersama Samuel Bagas #2

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, kembali mengadakan kegiatan baca bersama, dengan tema Rekam Media bersama Samuel Bagas Wiraseto (Gentong) dari RuangRupa. Untuk acara ini, harap membawa koran terbitan terbaru, gunting, lem, cutter, kertas-kertas bekas, lakban dan kardus.

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 29 Maret 2017, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook.

Mari datang dan ramaikan!


Klub Baca #16: Pintu Tertutup

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, mengadakan kegiatan baca bersama, buku novel karya Jean-Paul Sartre, berjudul Pintu Tertutup (Pustaka Jaya, 1984).

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 22 Maret 2017, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!

 

Jean-Paul Sartre adalah penulis Perancis yang terkenal sebagai tokoh filsafat eksistensialisme – sebuah aliran filsafat yang mashur di Eropa setelah Perang Dunia II. Dalam karya-karyanya yang berupa novel, drama dan esai, ia menjelaskan teorinya bahwa hidup tak mempunyai makna atau maksud di luar tujuan yang dicita-citakan bagi dirinya sendiri. Ia menolak hadiah Nobel untuk sastra tahun 1964, dengan alasan bahwa bagi pembaca hadiah itu secara tak langsung menambahkan sesuatu pengaruh pada kekuatan kata-kata pengarang, dan itu dianggapnya tidak jujur.

Sartre lahir pada tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia pernah mengajar ilmu filsafat pada beberapa Sekolah Tinggi, kemudian menjalani wajib militer dalam PD II. Meskipun tertangkap oleh tentara Jerman, tetapi dapat meloloskan diri dan menjadi pemimpin gerakan perlawanan di bawah tanah. Setelah PD II ia terjun dalam gerakan politik, dan di tahun 1946 menerbitkan majalah sastra dan politik Les Temps Moderne.

Karangannya yang terkenal a.l. novel La Nausee (Kemuakan), empat cerita pendek yang terbit di bawah satu judul Le Mur (Dinding), dan drama Les Mains Sales ( Tangan kotor), Les Sequestres d’Altona (Kutuk Altona), dan Huis Clos (Pintu Tertutup). 

PINTU TERTUTUP melambangkan hidup manusia yang seakan-akan dikodratkan menempati sebuah ruangan yang tertutup dan terbatas, memuakkan, tanpa cermin, tanpa jendela – sebuah uraian teori eksistensialisme Sartre.

[Dipetik dari sampul belakang buku]

 


Camus dan Persona Ganjil Mersault

Penulis: Ika Yuliana

Rabu malam tiba, dan kembali waktunya Klub Baca. Di kali kelimabelas, penghuni-penghuni setia Perpustakaan Forum Lenteng membaca sebuah buku ternama dari seorang penulis/ filsuf Perancis kelahiran Aljazair, Albert Camus. Orang Asing, atau yang judul aslinya, L’Étranger dalam bahasa Prancis menjadi pilihan untuk dikhatamkan malam itu. Pembaca tak sebanyak biasanya, hanya si mungil Anggra, si energik Pingkan, si lelaki satu-satunya, Rayhan, dan saya. Kami berempat menyelesaikan 120 halaman karya tersebut tepat pukul sebelas malam.

Kiri ke kanan: Pingkan, Rayhan dan Anggra.

Berlatar di tanah kelahiran sang penulis di Aljazair, tokoh utama Orang Asing ialah seorang laki-laki bernama Meursault. Di awal cerita, Meursault mendapat berita bahwa ibunya yang telah lama tinggal di panti jompo meninggal dunia. Namun demikian, ia tak menunjukkan kesedihan hingga pemakaman ibunya. Hal ini dinilai oleh orang lain sebagai suatu tindakan yang aneh dan janggal.

Alur selanjutnya, Meursault berkencan dengan seorang perempuan bernama Marie Cardona. Kencan tersebut hanya berselang sehari setelah pemakaman ibunya. Pada saat kencan, Mersault mengenakan dasi hitam yang menyebabkan Marie bertanya apakah Mersault dalam keadaan berduka. Namun, Mersault hanya mengatakan bahwa ibunya baru meninggal kemarin dengan ekspresi datar. Mersault menganggap bahwa meninggalnya sang ibu di hari Jumat atau hari apapun itu bukanlah “salah”nya, atau keinginannya, tetapi orang-orang sepertinya menganggap dia aneh.

Ia berkenalan dengan Raymond Sintes, yaitu tetangganya yang merupakan seorang pria yang tidak diketahui apa pekerjaannya namun selalu berpakaian rapi. Adapula tetangganya yang lain, seorang pria tua bernama Salamano yang selalu meludah, dan berpergian bersama anjingnya yang juga tua seperti dia. Baik Marie maupun Raymond ingin bersahabat dekat dengan Meursault, tapi respon Mersault tidak menunjukkan bahwa ia sangat antusias atau senang, ia menganggap biasa saja.

Pada sore hari Marie datang menemui aku, dan bertanya apakah aku mau menikah dengannya. Aku berkata, bagiku hal itu sama saja, dan bahwa kami dapat melakukannya jika dia menghendakinya. (h.43)

Demikian juga ketika ia ditawari oleh majikannya untuk menangani cabang usaha baru di Paris. Meursault tidak menanggapinya sebagai suatu kesempatan dan tantangan, tetapi ia biasa saja.

Ia (majikannya) lalu bertanya apakah aku tidak tertarik mengubah hidupku. Aku menjawab bahwa kita tidak akan pernah mengubah hidup kita, bahwa bagaimanapun semua sama nilainya, dan bahwa aku menyukai benar hidupku di sini. Ia tampak tidak senang, ia berkata bahwa aku selalu memberikan jawaban yang menyimpang, bahwa aku tidak mempunyai ambisi, dan semua itu amat mengecewakan dalam dunia usaha. (h.43).

 

Pingkan tengah membaca sembari kamera ponsel terus merekam dan menyiarkan pembacaannya live via Facebook.

Suatu kali dalam perjalanan Mersault bersama Raymond dan Marie ke pantai, mereka bertemu dengan Masson dan istrinya. Perjalanan yang awalnya merupakan acara berlibur menjadi terganggu karena Raymond dicederai oleh orang Arab yang bermusuhan dengan Raymond. Mersault sebenarnya tidak ada urusan dengan orang Arab tersebut. Ia hanya memegang pistol Raymond ketika Raymond berkelahi.

Bersama Masson dan Mersault, Raymond kembali ke rumah Masson untuk beristirahat. Mersault yang sebenarnya ingin memperoleh ketenangan kembali ke tempat perkelahian tersebut karena di sana ada mata air. Namun, orang Arab tersebut masih ada di sana. Hawa panas yang menggigit kulit dan si orang Arab yang mengeluarkan pisaunya kembali mengakibatkan Mersault hilang kendali. Pistol yang tadinya dititipkan di sakunya, tak sengaja tertarik picunya dan orang Arab tersebut tertembak. Anehnya, Mersault tidak merasa panik. Ia masih menembak tubuh tak bergerak itu empat kali lagi.

Sembari mendengarkan pembacaan oleh Rayhan, Pingkan membuat sketsa peristiwa Klub Baca #15.

Dari serangkaian keanehan Mersault ini, Albert Camus membawa cerita Mersault ke babak ke dua, yaitu pascapembunuhan orang Arab. Mersault ditangkap dan diperiksa berkali-kali. Menurut undang-undang, Mersault didampingi oleh pembela hukum. Alih-alih memberi bantuan hukum, pembela ini malah lebih mendengarkan “gosip” tentang pribadi Mersault yang dianggap “tidak berperasaan” ketika ibunya meninggal. Proses selanjutnya ialah ketika Mersault mengikuti persidangan. Dalam persidangan tersebut, baik pembela, jaksa, saksi, dan hakim, mempersoalkan tindakan Mersault yang dianggap “tidak biasa” ketika ibunya meninggal. Mersault ditanyai apakah ia menyesal dengan perbuatannya, dan apakah ia percaya kepada Tuhan? Dengan datar, Mersault menjawab tidak.

Saya yang membaca dan representasi saya yang sedang membaca Orang Asing.

Sikap dan tindakan Mersault sungguh membuat orang lain bingung, namun bagi Mersault sendiri, orang lain lainlah yang tidak mengerti apa yang ia maksudkan. Mungkin siapa-siapa yang membaca kisah ini berpikir dalam benaknya, seharusnya si tokoh bersedih karena ia kehilangan orang (yang harusnya juga) ia cintai. Tapi saya sendiri pun merasa tidak aneh dengan ketidaksedihan Mersault, karena kebetulan saya merasakan hal yang sama ketika ayah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Dan mungkin hal itu terjadi karena sejak kecil ada keberjarakan antara saya dengan ayah saya. Mungkin saja, bukan?

Sebenarnya, sampul belakang buku ini sudah memberi bocoran jika buku ini adalah awal pemikiran Camus terhadap filsafat absurd. Absurd dapat diterjemahkan secara bebas bahwa dalam hidup tidak ada makna, tidak ada yang terlalu baik, tidak ada yang terlalu buruk. Inilah absurd. Inilah keterasingan. Lewat Mersault, Camus menyuarakan keterasingannya. Keterasingan hidup akibat pilihan-pilihannya. Tidak hanya manusia yang ikut “mencampuri” hidupnya, tetapi semesta turut serta. Teriknya sinar matahari serta cuaca yang panas pun turut memberi andil akan nasib hidup Mersault.

Pembaca lelaki satu-satunya malam ini, Rayhan.

Mata dibayar dengan mata, nyawa dibayar dengan nyawa. Rayhan lalu teringat dengan kitab Hamurabi saat membaca buku ini. Bagian peradilan pidana Mersault menjadi favoritnya, mungkin karena ia mantan mahasiswa Kriminologi. Atau mungkin juga karena Camus sendiri membuat pembaca merasa terlibat untuk mengetahui seluk beluk sejarah peradilan sang tokoh utama yang menurut pendapat Pingkan adalah tipikal dari kesia-siaan. Tokoh ini tak hanya tragedi materi tapi juga tragedi rohani (pikiran) yang terjadi.  Pingkan sampai-sampai ingin mempelajari filsafat absurd untuk memastikan apakah sepesimis itu pemikiran dan tindakan si tokoh. Anggra pun merasakan ‘asing’ yang lain, khususnya dari segi penulisan, karena Camus sangat jarang memakai konjungsi atau kata sambung di awal kalimat. Hampir semua kalimat-kalimatnya itu terkesan arbitrer; berdiri sendiri dan seenak jidat si penulis. Semakin lama semakin terlihat bentuk keseluruhan ceritanya, yang memang tentang betapa asingnya si Mersault. Meskipun terkantuk-kantuk saat membaca, Anggra dan yang lainnya mengaku menyukai sastra terjemahan ini.

 

Kenampakan rutinitas Klub Baca setiap Rabu malam. Kiri ke kanan: saya, Pingkan dan Rayhan.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***


Klub Baca #15: Orang Asing

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, mengadakan kegiatan baca bersama, buku novel karya Albert Camus, berjudul Orang Asing (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014).

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 15 Maret 2017, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!


Mengunjungi Keajaiban Teluk Meksiko

Penulis: Pingkan Polla 

Malam itu, Rabu, 8 Maret 2017, garasi rumah Otty yang dijadikan Perpustakaan Forum Lenteng kembali diisi muda-mudi yang kali ini merindukan laut. Ya, pada edisi ke-14 ini, Klub Baca Buku Untuk Semua akhirnya membacakan karya Ernest Hemingway yang membuatnya meraih penghargaan Pulitzer di tahun 1953, yaitu Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and The Sea). Pembacaan buku ini dihadiri oleh Anggra, Rayhan, Pingkan, Asti, Melisa, Ika, dan kemudian menyusul Hanif.

Suasana saat Klub Baca #14 dimulai

Buku setebal sekitar 105 halaman ini kami habiskan dalam waktu 3 jam saja dan menceritakan kisah tentang seorang lelaki tua yang telah 84 hari melaut tanpa berhasil memanen ikan. Cerita yang berlatar di Teluk Meksiko ini juga menggambarkan petualangan lelaki tua tersebut yang ditinggalkan muridnya, Manolin. Lelaki tua itu kemudian memutuskan untuk mencari peruntungan di laut lepas, jauh dari tempat nelayan biasa mencari ikan. Dengan perahu kecilnya, ia berjuang melawan sekumpulan hiu demi pembuktian dirinya sebagai nelayan.

Asti tengah membacakan karya “Lelaki Tua dan Laut” sementara saya membuat sketsa sembari mendengarkan. Proses Klub Baca ini juga ditayangkan live via Facebook

Saat ditanyai bagian mana yang disukai, Hanif dan Melisa sepakat untuk menyukai adegan dimana si Lelaki Tua melawan hiu. Sedangkan Ika dan Asti sama-sama menyukai hubungan antara Lelaki Tua dan Manolin. Bagi Asti, konsistensi Hemingway dalam pemisahan antara gender feminin dan maskulin juga menjadi poin penting dalam cerita itu, misal ketika Lelaki Tua bermonolog tentang ikan tangkapannya dan laut. Lain hal dengan Anggra, ia sangat menyukai saat Hemingway menggambarkan kondisi laut lewat monolog Lelaki Tua tentang burung-burung. Ia juga menyukai monolog Lelaki Tua  dalam usahanya menangkap ikan besar ketika berada di tengah lautan.

Rayhan

Hanif

Melisa

Ika

Sedangkan menurut saya, cerita ini adalah cara Hemingway mengkritik eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap laut. Ia seolah hendak menyatakan bahwa opresi oleh manusia tak hanya dilakukan terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam tempat manusia memperoleh sumber kehidupannya sendiri. Kritik ini disajikan oleh Hemingway dengan apik lewat fiksinya.

Rayhan dan saya

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 11.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***


Klub Baca #14: Lelaki Tua dan Laut

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, mengadakan kegiatan baca bersama, buku novel karya Ernest Hemingway, berjudul Lelaki Tua dan Laut (Pustaka Jaya, 2001).

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 8 Maret 2017, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!


Membaca Rekam Media

Penulis: Anggraeni Widhiasih

Jika biasanya di Klub Baca, kami membaca buku karya sastra dari berbagai penulis, pada Klub Baca #13 ini kami memutuskan membaca media. Bersama Samuel Bagas Wiraseto (Gentong) dari RuangRupa, kegiatan baca bersama yang dilakukan oleh Anggra, Otty, Hafiz, Ika, Rayhan, Asti dan Melisa mengusung tema tentang Rekam Media.

Kegiatan yang diadakan pada Rabu, 1 Maret 2017, pukul 11:00 WIB di Perpustakaan Forum Lenteng ini diawali dengan membaca selintas tumpukan koran yang sengaja dibawa ke Perpustakaan Forum Lenteng. Kemudian, Gentong mengajak kami untuk mengulik sedikit mengenai sejarah materil koran, terutama koran di Indonesia.

Sengaja, kami membaca Wikipedia sebagai rujukan bacaan kami mengenai informasi-informasi yang dibutuhkan hari ini. Hal tersebut kami lakukan sebagai upaya merekam informasi dari media publik terkait isu yang kami cari, terutama kaitannya dengan lokasi dan situasi di Indonesia. Sebelumnya, kami pun membuat sebuah akun Wikipedia sebagai cara untuk mereproduksi dan memproduksi wacana secara langsung lewat media publik. Maka, secara bergantian kami membacakan informasi yang tertulis di Wikipedia mengenai koran di Indonesia.

Secara bahasa, kata koran merujuk pada penerbitan yang ringan dan mudah dibuang sehingga pembuatan koran biasanya menggunakan kertas yang berkualitas rendah. Adalah Medan Prijaji terbit pertama di tahun 1907 yang merupakan koran ber-Bahasa Melayu pertama yang terbit di Indonesia. Koran yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo tersebut pertama kali dicetak di kota Bandung dan terbit secara mingguan. Hingga kemudian di tahun 1910, ia terbit secara harian dan dicetak di Jakarta. Koran medan Prijaji pada masanya tak hanya merupakan media informasi semata, namun ia juga memiliki daya politis yang berposisi menentang pemerintah kolonial. Bahkan, koran yang didirikan ketika Tirto Adhi Soerjo masih sekolah kedokteran ini pun memiliki kolom pengaduan masyarakat yang lantas merujuk pada aktivitas jurnalisme advokasi. Koran ini terbit terakhir kali pada 3 Januari1912 untuk kemudian tutup pada 23 Agustus 1912.

Informasi ini dikonfirmasi ulang oleh Otty dan Hafiz. Menurut keduanya, rekam sejarah tentang kegiatan Tirto Adhi Soerjo tersebut ditulis kembali oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi novelnya. Terutama pada buku Jejak Langkah yang ditulis sebagai buku ketiga tetraloginya. Pram menuliskan sejarah tersebut melalui fiksi dan menghidupkan kembali Tirto Adhi Soerjo melalui karakter Minke. Tirto Adhi Soerjo tak hanya menjadi salah seorang bapak jurnalisme di Indonesia, tapi ia pula adalah salah satu pemuda yang pada era pra-kemerdekaan telah mewacanakan nasionalisme melalui media massa bahkan sebelum Budi Utomo berdiri di tahun 1908. Kondisi tersebut bisa dikatakan beriringan dengan kondisi politik internasional di negara-negara semacam Filipina, Kuba dan Eropa yang tengah ramai dengan topik nasionalisme di awal tahun 1900-an.

Di Indonesia, perkembangan surat kabar dibagi menjadi beberapa babak mengikuti era pemerintahan pasca kemerdekaan. Namun sebelum kemerdekaan, terdapat dua babak yang cukup pula penting diketahui. Babak Putih yang hadir di tahun 1744 – 1854 merupakan babak dimana surat kabar hanya dimiliki oleh orang berkulit putih, ber-Bahasa Belanda, dan pula hanya membahas aspek kehidupan orang-orang kulit putih. Sehingga tak aneh, ia disebut Babak Putih. Pada babak selanjutnya yang disebut Babak Kedua yaitu di tahun 1854 – 1908, koran-koran dalam Bahasa Melayu mulai lahir dan posisi redaktur terkadang diisi pula oleh orang Tionghoa maupun Melayu. Medan Prijaji merupakan salah satu contohnya.

Kondisi media yang analog pada era tersebut, kini jelas telah berubah. Generasi hari ini tidak lagi lekat pada teknologi yang serba cetak dan analog. Penemuan komputer dan internet memberi tak hanya kemudahan komunikasi jarak jauh, tapi juga mengubah perilaku bermedia di hari ini. Kliping berita pada hari ini bisa diwujudkan hanya dengan pranala luar dan segala sesuatu sangat lekat dengan digital. Maka pun tak heran jika sesi baca ini kemudian diawali dengan membuat sebuah akun Wikipedia.

Usai ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

Foto diambil dari http://www.infobdg.com/v2/wp-content/uploads/2014/12/81.jpg , diakses pada 7 Maret 2017 pukul 18.30