Klub Baca #33 – Roman Sejarah: Jejak Langkah

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, kembali mengadakan kegiatan baca bersama karya-karya Roman Sejarah yang telah dimulai sejak pertemuan ke-27. Pada pertemuan yang ke-33 ini, seri Roman Sejarah mengambil buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jejak Langkah.

Buku yang akan dibacakan disediakan oleh Perpustakaan Forum Lenteng dan peserta melakukan kegiatan membaca secara bergantian sementara peserta yang lain mendengarkan. Sembari mendengarkan, kamu bisa menggambar, membat sketsa, memotret dan bahkan makan asal tidak mengganggu kawan yang lain.

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 14 Maret 2018, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!


Pertemuan-Pertemuan dalam Perjalanan Minke

Setelah beberapa waktu lalu tandas membaca Bumi Manusia, Klub Baca Buku Untuk Semua kemudian berpindah pada bacaan selanjutnya. Masih dalam kerangka membaca karya roman sejarah, terutama karya Pramoedya Ananta Toer, KBBUS kemudian menghadirkan sekuel Bumi Manusia untuk dibaca bersama-sama. Seperti halnya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa pun diterbitkan oleh Hasta Mitra  pada tahun 1980 di Jakarta.

Sesi membaca pada 7 Februari 2018 di Perpustakaan Forum Lenteng.

Buku yang pada zamannya pernah menuai kontroversi ini kami baca tuntas dalam tiga kali pertemuan. Pada tanggal 7 Februari 2018, Maria, Dhuha, Pingkan, Otty, Zikri, Asti, Anggra membacakan buku ini di Perpustakaan Forum Lenteng. Sesi kedua dan ketiga pada tanggal 14 dan 28 Februari 2018 dilakukan di ruang depan Forum Lenteng dihadiri oleh Otty, Asti, Pingkan, Dhuha, Anggra, Zikri, Michan. Seorang kawan bernama Hillary yang ikut meneliti arsip-arsip D.A Peransi, turut ikut pula dalam acara membaca pada pertemuan yang ketiga.

Dhuha membacakan Anak Semua Bangsa pada pertemuan tanggal 28 Februari 2018 sementara Hillary dan Zikri mendengarkan.

Secara bergantian kami membacakan buku setebal 353 halaman yang sudah menguning dan tidak lagi bersampul asli tersebut. Maklum, buku yang kami pakai ini adalah edisi cetakan awal hasil sumbangan dari kawan di Forum Lenteng. Bab demi bab Anak Semua Bangsa yang menuturkan kehidupan Minke dan Nyai Ontosoroh selepas kepergian Annelies Mellema ke Belanda pun kami tuturkan. Sebagaimana bulan-bulan belakangan ini semenjak hadir Milisi Filem, para peserta Klub Baca takzim mendengarkan proses pembacaan sembari membuat nirmana dwi-matra. Cerita Anak Semua Bangsa dibuka dengan babak-babak yang menyuratkan kesedihan dan kehilangan akan Annelies. Pingkan menitikkan air mata ketika ia membacakan bagian dimana Panji Darma alias Robert Jan Daperste menyurati Minke dan Nyai Ontosoroh tentang Annelies yang tidak melihat apa-apa lagi hingga kemudian mati sunyi di negeri Ratu Wilhelmina. Ia membaca dengan sebentar-sebentar terbata menahan isak.

Pingkan tengah membacakan Anak Semua Bangsa .

Minke mulai menata rencana ke depan untuk melanjutkan hidupnya selepas kepergian Annelies. Kami kemudian melalui pertemuan-pertemuannya dengan orang-orang dari berbagai bangsa, membaca tentang transisi dunia kolonial pada sekitar tahun 1899 – tahun penutup abad ke-19. Kaki-kaki lain datang lagi dari Utara untuk turut membagi dunia, termasuk dunia di Hindia, bagi dirinya sendiri. Di babak ini, kekuasaan kolonialisme yang bergeser pada Jepang mulai nampak.

Maria tengah membaca sementara Zikri mendokumentasikan . Dhuha dan Hillary mendengarkan.

Minke yang bertemu dengan Khouw Ah Soe kemudian bersitatap pula dengan pengetahuan tentang bolak balik zaman. Ada masanya Eropa melihat, bahkan mengagumi Tiongkok, hingga konon membawa tradisi Tauchang ke Eropa sebagai sebuah tanda kehormatan. Sementara di Tiongkok, Tauchang dikenal sebagai tanda budak di masa ketika Tiongkok dikuasa oleh bangsa dari Utara. Aku duga, itu adalah masa ketika Mongol meringsek menduduki negeri tirai bambu tersebut.

Lalu Minke pun bertemu dengan Kommer yang pandai menulis Melayu. Bahkan Kommer-lah yang menerjemahlan tulisan Minke ke dalam Bahasa Melayu. Meski suka ceramah, Kommer pun telah membawa Minke pada dunia tulisan yang lebih mendalam dan keharusan untuk lebih mengenal bangsanya sendiri.

Sesi membaca tanggal 14 Februari 2018. Zikri tengah membaca sementara Otty dan Bohdana mendengarkan sambil bermain.

Sembari sesekali mengeraskan suara ketika para bayi yang hadir dalam peristiwa membaca yaitu Bohdana dan Tera turut berceloteh, kami mengeja perjalanan Minke dan Nyai Ontosoroh ke Sidoarjo. Di sana Minke bertemu dengan Trunodongso. Kala itu, apa yang telah ia pelajari tentang semboyan Revolusi Prancis pun diuji. Bagaimana sikap-sikapnya pada Truno yang seorang petani semestinya tidak boleh melanggar semangat Revolusi Prancis yang ia pelajari, kagumi dan yakini. Titik ini dapat dikatakan sebagai perjalanan awal Minke di dunia jurnalistik dan kehidupan di luar kertas-kertas teori maupun ruang kelas. Minke pun dibawa untuk berkenalan pada bangsa-bangsa dunia beserta dinamikanya pada penutup abad ke-19, Filipina dan perlawanannya terhadap kolonialisme pun menjadi salah satunya.

Umi Michan turut membaca pada pertemuan tanggal 14 Februari 2018.

Menjelang akhir buku, kami bersama Minke menemui realita tentang gula-gula yang menjadi pondasi beragam kemunculan masalah bagi pribumi kala itu; masalah Plikemboh, Truno dan Sanikem di antaranya. Gula-gula, bak karamel yang lengket dan manis, menjadi daya tarik yang kuat bagi modal kolonial. Di sisi lain, ia menjadi alasan berdirinya berbagai infrastruktur kota seperti jalan, rel kereta dan bahkan media-media massa kolonial kala itu. Kritik terhadap sistem ekonomi kapital dapat kita rasakan, terutama ketika sudah bicara tentang Darsam yang seumur-umur hanya punya badan sebagai modal ekonominya dan Truno yang mati-matian mempertahankan petak tanah terakhirnya yang tinggal berupa sebuah pekarangan.

 

 

 

 

 

Sketsa-sketsa Otty Widasari pada sesi membaca.

Pada Bumi Manusia, penutup cerita ialah kekalahan pilu Minke dan Nyai Ontosoroh di hadapan tuan-tuan kolonial. Tetapi pada Anak Semua Bangsa, Minke dan Nyai Ontosoroh berdiri bersama para sahabatnya yaitu Jean Marais, May, Kommer dan Darsam untuk melawan tuan kolonial, setidaknya lewat ujar.

Saya tidak sempat menanyai para peserta tentang bagian mana yang paling mereka sukai. Tetapi, proses membaca kadang disertai seru-seru semangat terutama ketika tiba pada cerita tentang Plikemboh yang kurang ajar dan Truno yang pemberani. Tentu kepiluan lagi-lagi kami rasai ketika sudah bicara soal Annelies dan hidup Nyai Ontosoroh sendiri.

Peserta membaca pada pertemuan tanggal 14 Februari 2018: Zikri, Otty, Asti, Pingkan, Dhuha (dari ujung depan kiri ke arah jarum jam).

Usai buku ini, kami akan melanjutkan membaca seri Bumi Manusia. Jejak Langkah adalah pemberhentian selanjutnya pada perjalanan seri membaca roman sejarah ini. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lentengsetiap hari Rabu pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***