Klub Baca #37 – Roman Sejarah: Rumah Kaca

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, kembali mengadakan kegiatan baca bersama karya-karya Roman Sejarah yang telah dimulai sejak pertemuan ke-27. Pada pertemuan yang ke-37 ini, seri Roman Sejarah mengambil buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Rumah Kaca.

Buku yang akan dibacakan disediakan oleh Perpustakaan Forum Lenteng dan peserta melakukan kegiatan membaca secara bergantian sementara peserta yang lain mendengarkan. Sembari mendengarkan, kamu bisa menggambar, membat sketsa, memotret dan bahkan makan asal tidak mengganggu kawan yang lain.

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 2 Mei 2018, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!


Sang Filoginis yang Beruntung

Sabtu siang kala itu, gadis-gadis Forum Lenteng duduk mengitari meja persegi panjang yang terletak di ruang depan Forum Lenteng. Berbeda dari jadwal biasanya, Klub Baca Buku Untuk Semua kala itu dilaksanakan di hari Sabtu sebab pada Rabu lalu para pesertanya tengah sibuk dengan pembuatan moving image nirmana untuk kelas Milisi Filem. Pukul 11 siang kami memulai prosesi pembacaan yang keempat buku Jejak Langkah. Asti, Maria, Bohdana dan saya menjadi yang pertama-tama memulai kegiatan membaca Sabtu itu. Kami meneruskan cerita perjalanan Minke yang tengah bergulat dengan “Medan”-nya, Syarikat Dagang Islamiyah dan berbagai gejolak di bumi Hindia-Belanda pada mula abad ke-20. Pergulatan Minke pada buku ini dimulai dari kedatangannya di Batavia setelah meninggalkan kediaman Nyai Ontosoroh, sang pemicu dari awal perjalanan Minke sejak buku Bumi Manusia. Meski demikian korespondensi Minke dengan perempuan ini tak habis lepas begitu saja. Ia tetap menjadi penopang utama Minke dalam perjalanannya di tanah Hindia-Belanda kala itu.

Asti ketika membaca dalam tangkapan layar dari story akun saya pada pertemuan di hari Sabtu, 21 April 2018.

Maria ketika membaca dalam tangkapan layar dari story akun saya pada pertemuan di hari Sabtu, 21 April 2018.

Pada buku ini, kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh perempuan yang tak hanya menandai perjalanan kehidupan Minke sebagai seorang pribadi tapi juga kehidupan Minke sebagai seorang tokoh di Hindia Belanda. Pada pembacaan pertama Jejak Langkah, kami sudah berjumpa dengan seorang gadis jelita asal Tionghoa. Ang San Mei namanya. Pertemuan Minke dengan Ang San Mei berpangkal dari pesan wasiat Khouw Ah Soe kepada Minke untuk menemui gadis Tionghoa itu di Batavia. Si filoginis Minke yang tadinya patah arang selepas kematian Annelies Mellema dan pukulan bertubi-tubi di Wonokromo, kini menemukan api hidupnya kembali melalui gadis Ang. Perempuan yang datang dari Tionghoa ke bumi Hindia-Belanda demi memperjuangkan nasib bangsanya ini mendekatkan kembali Minke pada persoalan sosial politik di tengah kehidupan Minke di STOVIA sebagai calon dokter.

Maria ketika membaca sembari sesekali mengerjakan sertifikat nirmana pada pertemuan membaca tanggal 11 April 2018.

Setelah pernikahannya dengan Mei, keduanya melawat menemui Gadis Jepara yang namanya kala itu menjadi perbincangan di Hindia-Belanda sebagai terpelajar pribumi yang menyerahkan jiwanya pada kemanusiaan dan menuturkannya lewat tulisan-tulisan kepada Von Aberon di Belanda. Sosok Dewi Sartika pun sempat disebut-sebut dalam buku ini namun Minke belum juga menemuinya bersama Mei. Selepas kepergian Khouw Ah Soe, Mei sempat mundur dari dunia organisasinya. Kontak terhadap kawan-kawannya yang lain pun hilang bersamaan dengan tewasnya Khouw Ah Soe. Namun sebuah perjumpaan singkat dengan Dokter Jawa yang kala itu berpidato di STOVIA memicu kembali semangat gerakan Mei dalam berorganisasi. Sebuah kontak datang dari kawan Tiong Hoa dan Mei kembali sibuk dengan organisasinya hingga ia sendiri kemudian habis dimakan radang hati. Minke lagi-lagi menduda. Saya ingat betul alih-alih bersedih, kami malah tertawa mendengarkan bagian itu sebab si pembaca – Hilary – malahan terkikik ketika membacakan keironisan perjalanan Minke si filoginis yang lagi-lagi ditinggal mati istri. Ditambah pula ia kemudian gagal menjadi dokter lantaran dikeluarkan dari STOVIA.

Hilary yang tengah membaca pada tanggal 11 April 2018.

 

Selepas dari STOVIA, Minke mulai menjadi manusia bebas yang pergerakannya benar-benar tak lagi dibatasi dinding sekolah. Sama halnya dengan Mei, Minke pun terinspirasi oleh pidato Dokter Jawa di STOVIA tentang pentingnya berorganisasi. Maka ia kemudian mendirikan Syarikat Priyayi. Meski Syarikat ini tak bertahan lama karena kepriyayian yang terlalu disandangnya membatasi jangkauan keanggotaan, namun organisasi ini berhasil meninggalkan sebuah warisan yang penting bagi kehidupan di Hindia-Belanda. Dimulai sebagai koran mingguan, ‘Medan’ merupakan terbitan Syarikat Priyayi untuk pribumi yang berbahasa Melayu. Ia menjadi terbitan milik pribumi pertama kala itu. Segera, koran mingguan ini berubah menjadi harian dan menjangkau kawasan yang lebih luas dengan dukungan modal dari Nyai Ontosoroh. Minke bersama kawan-kawan Syarikat seperti Thamrin Mohammad Tabrie, Sandiman dan Marko menerbitkan tak cuma informasi namun juga kasus-kasus hukum yang kala itu oleh pemerintah kolonial selalu dibungkus rapat. Perkenalan dengan Mr. Frischboten yang rupanya adalah suami Miriam de la Croix pun mempermudah Minke dan Medan bergerak dalam persoalan yang berkaitan dengan hukum. Dalam buku ini pula, Pram untuk pertama kalinya menyebutkan nama T.A.S sebagai inisial yang dipakai Minke dalam menulis tajuk utama.

Suasana membaca pada pertemuan tanggal 11 April 2018.

Bersamaan dengan gerakan Syarekat Priyayi yang bubar karena dominasi kepriyayiannya, Boedi Oetomo didirikan namun sebagai organisasi bangsa tunggal yang lagi-lagi dominan oleh priyayi. Namun berbeda dengan nasib Syarekat Priyayi, B.O berhasil berjalan dan fokusnya pada kampanye pendidikan Belanda untuk semua orang berhasil membawa B.O menjamah keanggotaan yang lebih luas meski hanya terbatas orang Jawa. Lain dari B.O, sebuah organisasi dagang bernama Syarikat Dagang Islamiyah (SDI) muncul sebagai organisasi bangsa ganda yang kemudian bertumbuh pesat. Minke yang meyakini pemikiran soal organisasi bangsa ganda kemudian bergabung di dalamnya.

Otty Widasari yang tengah membaca dalam sebuah tangakapan layar dari story Asti pada pertemuan tanggal 21 April 2018.

“Selamat Hari Kartini, ya!” Otty tiba-tiba datang di tengah prosesi pembacaan Sabtu itu. Barulah saya ingat bahwa hari itu ialah tanggal 21 April. Otty segera menanyakan kabar Mas Marko – sang petani yang menulis –  lalu ikut bergabung dengan acara membaca. Kami melanjutkan.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

 

Setelah beberapa waktu menduda, Minke sempat nyaris menikah dengan putri Jean Marais yang kini juga adalah putri Nyai Ontosoroh. Namun keluarga muda ini memutuskan pergi ke Perancis dan May yang masih belia memutuskan untuk sekolah daripada menikah. Kami pada pembacaan waktu itu bertepuk tangan salut kepada May yang punya pendirian teguh untuk sekolah. ‘Anak baik’ begitu tutur Otty pada pertemuan membaca yang kedua kala itu.

Suasana membaca tanggal 11 April 2018.

Namun jika bicara soal anak, tentu mesti kita bincangkan sekelumit mengenai perempuan yang membawa Minke ke dunia. Ia muncul sesekali dalam buku Jejak Langkah. Ibunda Minke adalah perempuan Jawa tulen. Dengan seluruh kejawaaannya, ia membesarkan Minke sebagai pribadi yang tak hanya cerdas tapi juga cemerlang. Meski Minke selalu membangkang dari tradisi, Ibundanya tak pernah berhenti mendukung. Bolak-balik dari Kota B menyusul si Burung Kedasih yang awalnya hinggap di Wonokromo, lalu Batavia, lalu Buitenzorg. Pertemuan Minke dan Ibunda adalah salah satu adegan yang selalu syahdu dalam ketiga tetralogi Pram yang telah kami baca.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

Pada pembacaan ketiga, kami bertemu dengan perempuan rupawan dari Kasiruta. Ketertarikannya pada isu boikot yang pernah muncul di terbitan Medan membawanya bertemu dengan Minke. Gadis yang menyebut dirinya Prinses van Kasiruta ini hendak membawa pelajaran tentang boikot ke Kasiruta jika kelak ia bisa kembali ke tanah kelahirannya itu. Ia dan ayahnya telah dibuang dan dilarang kembali ke Kasiruta atau bahkan keluar pulau Jawa oleh Tuan Asisten Residen Priangan. Bersama Minke, mulailah ia mengepalai terbitan bagian perempuan di Medan. Minke lalu menikah dengannya. Pada bagian pernikahan ketiga Minke, sayalah yang tergelak. Sungguh beruntung filoginis satu ini karena terus bertemu dan menikah dengan perempuan-perempuan yang jelita parasnya, isi kepalanya pula hatinya.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

Suasana pertemuan KBBUS pada 14 Maret 2018.

Dewi Sartika akhirnya berhasil ditemui Minke. Prinses kala itu menyertainya. Tak banyak yang terbahas mengenai perempuan Sunda itu kecuali tuturan bahwa ia mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi di tananhnya. Kembali dari perjumpaan dengan Dewi Sartika, Prinses kemudian diam-diam mulai menulis untuk majalah Belanda. Salah satu tulisannya yang bicara tentang kematian Gadis Jepara bukan hanya menjadi tulisan yang baik tapi juga berhasil menohok serta menggonjang-ganjing kehidupan suami mendiang Gadis Jepara, Bupati Rembang. Perempuan Kasiruta yang menurut saya tak banyak bicara ini, juga pada suatu ketika memukau kami – para pembaca – dengan ketegasannya mengusir gerombolan De Knijpers yang datang hendak mengancam Minke di rumahnya. Dengan pistol di genggaman, Prinses mengusir gerombolan kulit putih dari rumahnya yang kala itu ingin memukul mundur Minke dan SDI. Pada kesempatan lainnya, malahan Prinses betul-betul menyelamatkan hidup Minke yang tengah terancam selepas Medan ditutup. Dengan sebuah payung terbuka lebar, ia menembaki gerombolan De Zweep yang tengah mengincar Minke pada suatu kesempatan. Beberapa dari mereka tewas dan salah seorang yang bertahan belakangan diketahui adalah si pembuat onar di setiap seri buku tetralogi ini sejak Bumi Manusia. Tak lain tak bukan ialah Robert Suurhof. Seluruh peserta acara membaca Sabtu itu terpukau mendengar cerita tentang perempuan Kasiruta satu ini.

Catatan Otty Widasari untuk buku Jejak Langkah.

Namun demikian buku terbitan Hasta Mitra tahun 1985 yang habis kami baca pada KBBUS edisi ke-33 hingga ke-36 ini berakhir cukup menyesakkan dada. Medan yang akhirnya dibuka kembali malahan menerbitkan berita berbahaya yang selanjutnya membuat Minke ditangkap dan akan segera dibawa pergi menjauh dari Buitenzorg, dari Medan dan dari Prinses van Kasiruta. Asti nyaris menitikkan air mata ketika ia membacakan penutup Jejak Langkah Sabtu itu. Bukan dengan Nyai Ontosoroh kami berpamitan pada penutup kali ini seperti pada Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sebelumnya, melainkan dengan Piah – babu Minke dan Prinses. Perempuan yang tak sekalipun pada bab-bab sebelumnya pernah disebutkan ini, pada penghujung cerita menunjukkan kesetiannya. Untuk pertama kalinya tahulah Minke bahwa Piah pun anggota Syarikat. Prinses telah mendidiknya dengan baik bukan semata sebagai babu tapi juga sebagai manusia yang bergerak, berpikir, berjuang. Kami lalu menutup buku yang telah kami baca pada tanggal 14 Maret, 21 Maret, 11 April dan 21 April 2018 ini dengan napas yang dihela pelan.

Robi tengah membaca sementara Dhuha dan Asti mendengarkan pada pertemuan tanggal 11 April 2018.

Selain gadis-gadis yang membaca Sabtu itu, peserta lain pun turut datang silih berganti. Afrian, Zikri, Pingkan, Hilary, Dhuha, Lutfan, Melisa dan Robi kadang pun ikut membaca. Beberapa jika tertinggal menyusul dengan membaca bab yang terlewat secara terpisah.

Rian tengah membaca pada pertemuan tanggal 14 Maret 2018.

 

Dari ketiga buku ini, tokoh perempuan yang paling disukai oleh Asti dan Maria adalah Nyai Ontosoroh. Ia masih yang paling berkharisma, menurut keduanya. “ Setiap kali ia muncul, kayak ada aura yang kuat banget. Gila, sebagai perempuan Jawa di masa itu ia bisa sangat strategis, cerdas dan luar biasa. Sampai kemudian dia jadi kaya dan kuat betulan.” Tutur Asti ketika ditanyai di studio lantai dua di sela kerjanya membuat moving image nirmana. Maria yang kala itu duduk di sebelahnya pun mengamini dengan bersemangat.

Suasana kegiatan membaca pada 21 Maret 2018.

 

Suasana kegiatan membaca KBBUS ketika membaca buku Jejak Langkah.

Saya sendiri merasa bahwa setiap tokoh perempuan dalam ketiga buku yang menjadi bagian tetralogi ini memiliki kekhasan masing-masing yang menandai tak cuma zamannya tapi juga kondisi bangsanya. Namun harus saya katakan bahwa Gadis Ang dalam kesingkatannya hadir di Jejak Langkah membuat saya terpukau. Bagi saya, ia mendekatkan Minke pada dunia organisasi dan menjadi contoh sebuah ketegaran akan perjuangan terhadap apa yang diyakini.

Catatan Otty Widasari ketika proses membaca.

Sebetulnya ada banyak sekali hal yang menarik dari buku Jejak Langkah. Hampir-hampir begitu padat dengan muatan peristiwa sejarah, catatan harian Minke dan tokoh-tokoh penting pada awal abad ke-20. Namun barangkali saya pun tertular kefiloginisan Minke sehingga lebih tertarik mengulas melalui keberuntungan filoginis asal kota B ini dalam bertemu dengan perempuan-perempuan luar biasa yang membawa terang. Mungkin pula karena kebetulan pembacaan cerita berakhir di Hari Kartini bersama para pembaca perempuan yang membacakan sekelumit cerita Piah.

 

Kolase tangkapan layar dari story akun Pingkan pada pertemuan 11 April 2018.

Usai buku ini, kami akan melanjutkan membaca Rumah Kaca, buku terakhir dalam tetralogi yang ditulis Pram.  Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lentengsetiap hari Rabu pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***