Kisah-kisah Pinggiran dari Lubis

Bulan ini sepertinya bulannya Lubis, ya?

Beberapa orang sempat bertanya-tanya demikian kepada saya sebagai penyelenggara Klub Baca Buku Untuk Semua. Memang, beberapa edisi terakhir ini kami membaca karya-karya sastra yang dibuat oleh Mochtar Lubis. Bukan sebuah kesengajaan sebetulnya untuk membuat sebulan penuh membaca Lubis. Sebetulnya saya lebih ingin menuntaskan koleksi Lubis di perpustakaan sebagai pemanasan membaca karya sastra Indonesia sebelum nantinya beralih ke karya sastra Indonesia lainnya.

Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #26

Pada seri ke-26 ini, Klub Baca Buku Untuk Semua menghadirkan karya Bromocorah sebagai bahan bacaan. Karya yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 1993 ini merupakan antologi duabelas cerita pendek yang ditulis oleh Mochtar Lubis. Tidak jelas persisnya kapan rentang waktu penulisan dari cerita-cerita pendek tersebut, namun secara garis besar kisah-kisah di dalamnya menuturkan tentang orang-orang pinggiran dan perkara identitas di Indonesia pasca kemerdekaan.

Zikri, Dhuha dan Walay. Dhuha tengah membaca sementara Zikri dan Walay mendengarkan sambil membuat nirmana.

Otty, Yonri, Walay, Dhuha, Zikri, Yuki dan Anggra secara bergiliran membacakan satu per satu cerita pendek dalam buku tersebut. Namun kali ini, kegiatan Klub Baca tidak dilaksanakan di Perpustakaan Forum Lenteng, tetapi di ruang tengah Forum Lenteng. Meskipun pelaksanaannya mundur sehari dari rencana semula di tanggal 20 September 2017 menjadi tanggal 21 September 2017, namun antusiasme proses membaca tetap terbangun di antara para peserta yang hadir.

Otty tengah memulai ritual membaca sementara Yonri mendengarkan.

Pembacaan dibuka oleh Otty yang menyebutkan seri Klub Baca, judul buku, pengarang, penerbit, tahun terbit, tanggal pelaksanaan dan nama masing-masing peserta Klub Baca. Kemudian Otty mulai membacakan cerita pendek pertama yang juga menjadi judul dari antologi ini, Bromocorah. Selanjutnya Abu Terbakar Hangus; Hati yang Hampa; Pahlawan; Uang, Uang, Uang, Hanya Uang; Wiski; Dara; Dukun; Hidup Adalah Sebuah Permainan Rolet;Rekanan; Gelas yang Pecah; dan Perburuan dibacakan secara bergantian oleh peserta Klub Baca. Kurang lebih dari jam 19.00 hingga 00.30, kami menuntaskan buku setebal 232 halaman ini.

Yuki membacakan karya berjudul Wiski.

Sesekali kami terpingkal oleh kejenakaan yang sinis dalam karya-karya Lubis. Sesekali kami menanggapi langsung candaan atau ironi dalam cerita-cerita pendek yang dibacakan. Sehingga suasana membaca yang juga diselingi aktivitas membuat nirmana dwimatra sebagai tugas dari Lokakarya Membuat Filem menjadi ramai dan penuh semangat.

Yonri dalam sketsa karya Otty.

Anggra dalam sketsa karya Otty.

Usai pembacaan, beberapa peserta memberi komentar tentang cerita pendek yang mereka sukai. Otty paling menyukai Rekanan. Menurutnya, era awal 80-an sebagaimana yang disebutkan sebagai latar dalam cerita tersebut merupakan tahun-tahun yang menjadi cikal-bakal kelahiran generasi dan kultur yang mendewakan gaya hidup kebaratan dan kemewahan. Korupsi dan nepotisme menjadi sikap-sikap yang tidak terhindarkan terutama pada kalangan perusahaan yang berkait dengan pemerintahan. Sedangkan Yonri sangat menyukai cerita Abu Terbakar Hangus. Menurutnya, dalam cerita tersebut, segala hal bisa dilihat dari perspektif tokoh utama yaitu Safira, yang kemudian menjembatani pengenalan terhadap tokoh-tokoh lainnya, situasi sosial kala itu bahkan termasuk pula situasi politiknya. Bahkan dalam salah satu fragmen cerita, dituturkan bahwa pernikahan tokoh utama pernah melibatkan Perdana Menteri Nehru dari India sebagai penengahnya. Bagi saya, cerita yang disukai Yonri tersebut juga merefleksikan isu identitas yang muncul akibat Safira yang campuran Belanda-Jawa. Sensitivitas akan nasionalitas begitu ditonjolkan dalam keresahan Safira sebagai warga negara campuran. Bahkan keresahan ini pun berdampak pula pada kesulitannya untuk menetap pada seorang pendamping hidup. Hal yang sama pun terjadi dalam cerita Uang,Uang, Uang, Hanya Uang yang menceritakan seorang taipan Tionghoa yang mencintai Indonesia tetapi tak mampu menyampaikannya. Ironi taipan ini pun kemudian dikiaskan bersamaan dengan kerinduannya akan gadis pujaan hatinya di Indonesia. Cintanya pada si gadis dan tanah Indonesia diibaratkan sebagai sebuah cinta yang sama-sama tak terkatakan, apalagi terbalaskan.

Zikri membaca sementara Yuki mendengarkan sambil membuat nirmana.

Cerita terakhir yang berjudul Perburuan cukup mengingatkan kami akan novel Lubis yang sebelumnya kami baca, Harimau! Harimau!  Beberapa dari kami berspekulasi bahwa mungkin dari versi pendek inilah kemudian dikembangkan menjadi novel. Beberapa lainnya berpendapat barangkali malah sebaliknya. Dari semua, menurut saya cerita terakhir inilah yang paling ironis. Tokoh utama yang begitu jagoan, yang hendak segera menikah, malah rupanya harus menemui ajal akibat teriakan yang mengabarkan keberadaan harimau. Padahal, teriakan itu belum tentu benar.

Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #26

 

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***


Klub Baca #26: Bromocorah

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, mengadakan kegiatan baca bersama, buku karya Mochtar Lubis, berjudul Bromocorah (Yayasan Obor Indonesia, 1993).

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 20 September 2017, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!

Dalam masyarakat yang kurang terbuka, atau sama sekali tidak terbuka, seorang anggota masyarakat yang telah dianggap mempunyai cacat, seakan seumur hidupnya harus terus-menerus dengan beban cacatnya itu. Dalam cerita pendek Bromocorah hal ini merupakan pesan utamanya. Padahal hal yang demikian sebenarnya mengingkari kemampuan manusia untuk selalu memperbaiki dirinya. Seseorang yang telah berdosa, jika dia minta ampun dengan bersungguh-sungguh masih akan diampuni oleh Tuhan. Hal ini jelas terungkap dalam cerita pendek Bromocorah, yang dipergunakan juga menjadi judul buku ini. Ada dua belas cerita pendek yang dirangkum dalam buku ini, dan semuanya telah ditulis dengan kepekaan yang besar dan ketajaman pengamatan terhadap manusia dan masyrakat Indonesia.

Cerita-cerita pendek yang dimuat dalam buku ini dapat dibaca sebagai cerita-cerita yang mengasyikkan, akan tetapi juga dapat dibaca sebagai cermin kenyataan manusia dan masyrakat di Indonesia.

[Dipetik dari sampul belakang buku]


Catatan tentang Membaca Harimau! Harimau!

Penulis: Prashasti Wilujeng

Pada hari Rabu, 13 September 2017, Harimau! Harimau! (Pustaka Jaya, 1975) menjadi buku kedua karya Mochtar Lubis yang kami baca. Dalam dua setengah putaran selama lima jam, buku setebal 216 halaman ini habis dibaca oleh Pingkan, Anggra, Dhuha, Zikri, Walay, Robby, Rayhan, Asti, dan Otty. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda dengan judul Tiger-Tiger oleh Horlimann. Kemudian pada 1976, novel ini mendapat penghargaan buku fiksi terbaik dari Yayasan Buku Utama.[1]

Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #25 di Perpustakaan Forum Lenteng

Karya penulis berlatar belakang jurnalis  ini dibuka dengan sebuah sajak dari Jose M.A. Capdevilla, yang mungkin diterjemahkan sendiri oleh Mochtar Lubis. Sajak yang singkat namun mencekam, seperti novel yang ditulisnya.

melintas ketakutan lewat sudut
jalan-jalan dan tanah lapang
meratap kengerian
angin lalu

ada yang tidur
yang lain bangun
hati berdebar cemas

turunlah hujan
semuanya teror dan sunyi sepi

 

Suasana kegiatan Klub Baca yang bisanya diwarnai pula dengan kegiatan merekam.

Pingkan tengah mendengarkan Yonri yang membaca.

Mochtar Lubis menggambarkan hubungan antarmanusia, plot, latar, dan suasana lewat watak-watak yang muncul dari tujuh orang pencari damar di hutan: Wak Katok, Pak Balam, Buyung, Sanip, Tabib, Sutan, dan Pak Haji. Perbedaan antara setiap orang, setiap generasi, dan setiap latar belakang diwakilkan di setiap tokohnya. Tokoh-tokoh yang dikumpulkan di tengah hutan, dengan suasana mencekam, yang memunculkan watak-watak asli seseorang. Selama membaca, kami dibuat tertawa terbahak, terdiam, ataupun kesal dengan bagaimana setiap tokoh merespons situasi dan keadaan hidup.

Pingkan, Yonri dan Otty tengah menyimak proses pembacaan oleh salah seorang peserta.

Asti, Rayhan, Robi dan Walay tengah menyimak Zikri yang membaca.

Saat beberapa pembaca ditanya bagian favorit, Pingkan berkata ia paling suka saat penceritaan menggunakan sudut pandang si Harimau. Bagaimana si Harimau berpikir, merasa lapar, dan menyusun taktik untuk menyergap mangsa. Dhuha sangat suka dengan keseluruhan buku ini karena ia pernah merasakan sendiri bagaimana ia berada di tengah hutan dan ketakutan disergap binatang buas. Bagian yang paling ia sukai adalah di bagian menjelang akhir saat Wak Katok dengan sengaja membuat rombongan pencari damar ini hanya berjalan memutar dan tersesat.

Dhuha tengah membacakan bagian tengah dari karya Harimau! Harimau!

Asti yang tengah membaca.

Menurut saya sendiri, Mochtar Lubis menggunakan konflik untuk menggambarkan hubungan antara manusia dengan manusia lain. Wak Katok, misalnya, menggambarkan generasi tua yang karena banyak ilmunya, ia dijjadikan guru oleh banyak orang sehingga menjadi seseorang yang terpandang di kampungnya. Pak Balam, yang sebaya dengan Wak Katok adalah orang yang dihormati oleh warga kampung karena ketaatannya dalam beribadah. Kemudian ada Buyung yang masih berumur sembilan belas tahun, masih muda, satu-satunya yang belum menikah, dan berani serta berpegang teguh pada prinsipnya. Ia merupakan murid pencak Wak Katok. Sanip, yang umurnya lebih tua beberapa tahun daripada Buyung, sudah punya empat orang anak. Sanip adalah orang yang ceria dan selalu berpikir positif. Talib, sebaliknya adalah orang yang pendiam dan pemurung. Sedangkan, Sutan adalah orang yang keras kepala. Pak Haji, yang wataknya baru jelas belakangan, adalah orang yang punya banyak pengalaman. Ia merupakan orang yang skeptis dengan manusia lain karena ia telah banyak melihat bagaimana manusia memakan manusia lain dengan tindakan jahat mereka.

Robi yang membaca dan Zikri yang menyimak.

Belakangan, baru diketahui bahwa Wak Katok adalah seorang pecundang yang egois. Sedangkan Sanip, yang selalu ceria, ternyata pernah banyak melakukan banyak kesalahan. Di sini, Mochtar Lubis menggambarkan manusia sebagai manusia seutuhnya, yang mempunyai ketakutan dan kesalahan. Manusia yang tidak digambarkan dengan hebat dan heroik.

Otty yang merupakan pencetus ide Klub Baca ini turut pula membacakan bagian-bagian karya Mochatr Lubis ini.

Usai membaca buku ini, Otty mengemukakan bahwa ia sangat suka buku ini karena penuturannya sangat filmis. Sudut pandang yang awalnya berasal dari Buyung, pindah ke Harimau, pindah lagi ke Wak Katok, lalu pindah lagi ke Buyung. Narasi dibacakan tidak hanya selalu dari sudut pandang orang ketiga, tapi berpindah juga ke orang pertama.

Suasana pelaksanaan kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #25.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***

Sketsa karya Yonri yang dibuat selama proses pembacaan.

Daftar Rujukan:

[1] http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Harimau-Harimau | Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


Klub Baca #25: Harimau! Harimau!

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, mengadakan kegiatan baca bersama, buku karya Mochtar Lubis, berjudul Harimau! Harimau! (Yayasan Obor Indonesia, 2001).

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 13 September 2017, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!

Harimau Harimau telah mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama sebagai buku penulisan sastra terbaik tahun 1975. Buku ini dapat dibaca sebagai sebuah cerita petualangan di rimba raya oleh sekelompok pengumpul damar yang diburu oleh seekor harimau yang kelaparan. Berhari-hari mereka mencoba menyelamatkan diri mereka dan seorang demi seorang di antara mereka jatuh menjadi korban terkaman harimau.

 

Di tingkat lain, juga terjadi petualangan dalam diri masing-masing anggota kelompok pengumpul damar ini. Di bawah tekanan ancaman harimau yang terus-menerus memburu mereka, dalam diri meraka masing-masing, yang mempertinggi pula kesadaran mereka tentang kekuatan dan kelemahan-kelemahan para anggota kelompok mereka yang lain.

 

Di antara mereka malahan sampai pada kesadaran bahwa sebelum membunuh harimau yang memburu-buru mereka, tak kalah pentingnya ialah untuk membunuh terlebih dahulu harimau yang berada dalam setiap anak manusia.

 

Hingga halaman terakhir pembaca akan terpikat dan terpesona dengan ketegangan yang terjalin dalam karya ini. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan sebuah terjemahan dalam bahasa Jepang sedang dilakukan pula .

[Dipetik dari sampul belakang buku]


Membaca Jalan Panjang Kemanusiaan

Setelah beberapa waktu terjeda oleh berbagai kesibukan pekan seni dan festival filem, Klub Baca Buku Untuk Semua akhirnya dilaksanakan kembali untuk menyegarkan kembali hadirinnya. Dilaksanakan pada 7 September 2017, KBBUS edisi ke-24 mengambil buku karya Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, sebagai bahan bacaan bersama kala itu. Dimulai pada pukul 19.35 dan berakhir pada pukul 24.00, prosesi pembacaan ini dihadiri oleh Anggra, Zikri, Asti, Pingkan, Ragil, Hanif, Dhuha serta kawan-kawan baru dari ARKIPEL yaitu Raras, Panji, Robi dan Walai. Meskipun beberapa kawan kemudian perlu pulang lebih awal karena satu dan lain hal, namun buku setebal 165 halaman tersebut pada akhirnya usai dibacakan bergilir oleh para hadirin yang berkumpul di Perpustakaan Forum Lenteng.

Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #24 di Perpustakaan Forum Lenteng.

Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Pustaka pada tahun 2001 ini sebetulnya diterbitkan pertama kali pada tahun 1952 oleh Balai Pustaka. Karya ini dianggap sebagai salah satu karya terbaik Mochtar Lubis dan sempat mendapat penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Karya ini menukil sebuah kisah kehidupan seorang guru sekolah, Guru Isa, yang terus menerus mengalami ketakutan namun kemudian justru melibatkan diri membantu gerilyawan Indonesia pada tahun-tahun ketika NICA kembali datang pasca Proklamasi Kemerdekaan.

Kanan ke kiri: Pingkan, Zikri dan Raras. Zikri tengah membacakan buku Jalan Tak Ada Ujung sementara peserta baca lainnya menyimak.

Kanan ke kiri: Robi dan Panji. Panji tengah membaca sementara Robi menyimak sembari membuat sketsa di meja.

Dhuha tengah membaca sementara terlihat Asti dan Ragil tengah menyimak.

Ketakutan yang dialami Guru Isa sebetulnya bukan cuma soal ditangkap NICA namun juga tentang bagaimana ia, sebagai lelaki, yang tak mampu lagi memenuhi kebutuhan Fatimah – istrinya. Ketakutan tersebut menjadi suatu perkara kompleks yang kerap termanifestasi melalui mimpi-mimpi buruk Guru Isa. Pada kisahnya, Guru Isa kemudian berjumpa dengan Hazil, seorang anak muda berbakat dengan ideologi kemerdekaan yang kuat, yang segala ciri dirinya adalah apa yang Guru Isa hasrati namun tak dapat ia capai. Akan tetapi pada akhir cerita, justru segalanya serba berkebalikan dan melalui jalan panjang yang tak mudah, Guru Isa akhirnya mampu berdamai dengan ketakutannya dan hidup berdampingan dengannya.

Tangkapan dari dalam Instagram Pingkan yang tengah menyiarkan secara langsung kegiatan Klub Baca.

Ragil yang tengah membaca, di dalam dan di luar bingkai Instagram live.

Pingkan, Zikri dan Asti paling menyukai adegan ketika Guru Isa dan Hazil berada dalam sel penjara dan bagaimana kemudian Guru Isa mulai belajar berdamai dengan ketakutannya. Pingkan juga menyukai adegan ketika Guru Isa bercakap-cakap dengan Salim kecil yang tengah ketakutan karena kamar yang gelap. Menurutnya, di sana Guru Isa menunjukkan sikap empatik terhadap segala jenis ketakutan tanpa menganggap remeh satu pun. Saya pribadi pun menyukai kedua adegan tersebut di atas serta menggarisbawahi transisi dimana Guru Isa melihat bahwa ketakutan di satu sisi adalah hal yang personal namun di sisi lain adalah hal yang sangat manusiawi dan setiap orang harus belajar hidup dengannya. Kemanusiaan di sana bukan lagi cuma soal kebebasan dan kemerdekaan, namun juga ketakutan-ketakutan yang secara nyata sering menjadi tantangan bagi martabat manusia itu sendiri. Sehingga jalan panjang yang terbentang sebetulnya bukan cuma soal perjuangan atas kebebasan namun juga atas usaha-usaha untuk mengumpil martabat sebagai manusia dengan nilai kemanusiannya.

Raras dan Zikri yang sama-sama menyimak pembacaan sembari membuat sketsa-sketsa di meja.

Selain menyimak pembacaan buku, para peserta biasanya membuat sketsa di atas meja.

Selain isu mengenai ketakutan dan kemanusiaan, agaknya karya ini juga menarasikan bagaimana lelaki melihat dan mengatasi kegelisahan-kegelisahan dalam dirinya. Melalui refleksi diri Guru Isa yang intens, pembaca dihantar pula untuk melihat bagaimana lelaki melihat dirinya dan melihat diri perempuan. Ketakutan Guru Isa adalah sebuah ketakutan maskulin yang dimulai pada isu yang sangat primitif namun kemudian menjangkau pula pada isu tentang lepasnya kendali dan kuasa dirinya atas hidup. Percintaan yang kemudian terjadi antara Hazil dan Fatimah justru adalah potret bagaimana lelaki melihat keidealan maskulin itu sendiri, bagaimana lelaki melihat apa yang ideal dari dan bagi feminitas perempuan serta bagaimana ketakutan Guru Isa adalah hal yang berada di luar keidealan maskulin itu sendiri.

Kanan ke kiri: Asti, Walai dan Ragil. Suasana kegiatan Klub Baca Buku Untuk Semua #24.

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***


Klub Baca #24: Jalan Tak Ada Ujung

Program Buku Untuk Semua, Divisi Perpustakaan dan Mediatek, Forum Lenteng, mengadakan kegiatan baca bersama, buku karya Mochtar Lubis, berjudul Jalan Tak Ada Ujung (Yayasan Obor Indonesia, 2001).

Kegiatan yang dilakukan oleh Klub Baca Buku Untuk Semua ini akan dilaksanakan pada hari Rabu, 6 September 2017, pukul 19:00 WIB, di Perpustakaan Forum Lenteng, Jl. H. Saidi No. 69, RT07/RW05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta – 12530. Acara ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan pula via live streaming Facebook. Mari datang dan ramaikan!

Jakarta selama bulan-bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, adalah kota yang dicekam ketegangan.

 

Ketegangan antara kelompok pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan dengan berbagai kesatuan tentara Jepang yang menunggu-nunggu kedatangan tentara sekutu, karena pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan sedang asik mengumpulkan persenjataan dari pasukan-pasukan Jepang, dan juga ketegangan dalam hati seluruh rakyat Indonesia mengenai siapakah yang akan datang pertama dari tentara Sekutu, tentara Inggris, atau Belanda?

 

Itulah “setting” Jalan Tak Ada Ujung ini, yang mengisahkan pejuang-pejuang seperti Hazil, pemusik yang bersemangat berapi-api, Guru Isa yang lembut hati dan tidak suka pada kekerasan, istrinya yang merindukan kasih lelaki. Perlawanan terhadap tentara Belanda yang hendak menjajah Indonesia, kehangatan cinta, semangat berkorbar perjuangan, ketakutan, kejahatan manusia terhadap manusia, penemuan diri di bawah siksaan, dan kemenangan manusia dalam pergaulan dengan dirinya sendiri. Semua ini dapat ditemukan dalam novel ini.

[Dipetik dari sampul belakang buku]

 


Membaca Malam Elie Wiesel

Sebetulnya, kisah-kisah tentang apa yang terjadi pada kaum Yahudi di era kekuasaan Nazi di Jerman dan Eropa Timur di tahun 40-an sudah banyak kita dengar, tonton dan baca. Namun tetap saja, menjumpainya lagi pada sebuah buku cerita atau filem masih membuat kuduk merinding maupun perut mual. Walau demikian, toh kejadian-kejadian bengis seperti yang pernah berlangsung terhadap kaum Yahudi hingga hari ini masih saja terjadi, meski dengan intensitas kengerian yang tidak lagi setara dengan apa yang dikisahkan pernah terjadi di Auschwitz , Buna maupun Buchenwald.

Barangkali, keberadaan aksi-aksi bengis tersebut di hari-hari ini jugalah yang membuat kegiatan membaca novel Malam (Yayasan Obor Indonesia, 1988) karya  Elie Wiesel ini masih relevan. Bahkan, Mochtar Lubis sendiri dalam pengantar buku ini menyatakan dengan jelas bahwa menerbitkan Malam adalah sebuah aksi mengingatkan sesama untuk berbuat manusiawi dan melandaskan diri pada kasih sayang di tengah kemelut aksi memusnahkan sesama manusia. Pengingat ini juga berlaku bagi mereka yang pernah menjadi korban dan kini bertindak sebagai salah satu pelaku pula.

 

Dhuha membacakan novel Malam karya Elie Wiesel

Di sesi ke-23 Klub Baca Buku Untuk Semua yang dilaksanakan pada Rabu, 21 Juni 2017 pukul 21.00 ini, Pingkan, Dhuha, Anggra, Rayhan, Ario dan Ika hadir untuk membacakan Malam. Namun kali ini kami membaca bukan di Perpustakaan Forum Lenteng melainkan di halaman belakang Forum Lenteng. Buku ini kelihatannya memang tipis, yaitu hanya setebal 120 halaman, namun isinya yang sarat kekelaman membuat 3 jam sesi membaca terasa sangat ngilu dan berat.

Pingkan yang tengah membacakan Malam pada sesi ke-23 Klub Baca Buku Untuk Semua

Tak satupun dari kami menangis apalagi histeris. Pembacaan bisa dilakukan dengan khidmat meski sesekali ada yang sempat mual akibat membayangkan adegan daging manusia yang terbakar dan cerobong yang mengeluarkan asap berbau busuk. Beberapa yang lain geleng-geleng kepala pada kisah-kisah ngeri yang dibacakan. Pada kenyataannya, peristiwa serupa sampai hari ini masih terjadi di berbagai tempat dalam berbagai bentuk. Ini mungkin membuat kami tak lagi heran dengan level kebengisan yang bisa dicapai manusia meski tentu tetap mengejutkan mendengarnya.

Suasana membaca di Klub Baca Buku Untuk Semua #23 (kiri ke kanan: Dhuha dan Rayhan)

Dhuha merasa bagian cerita paling menohok ialah ketika ada salah seorang kawan yang berujar bahwa istrinya masih hidup. Saya sendiri terperangah pada cerita Elie mengenai prosesi penggantungan seorang anak laki-laki yang konon memiliki raut wajah malaikat yang sedih. Elie mendeskripsikan peristiwa itu layaknya laporan saja; lugas dan tanpa frasa yang sayu. Tapi kelugasannya itu malah membuat pilu, sebab ada kesan keterbiasaan pada sesuatu yang jelas di luar kebiasaan tersebut. Atau mungkin, apa yang biasa dan tak biasa bagi kita dan Elie yang hidup di kamp kala itu juga telah menjadi hal yang berbeda. Otty seusai pembacaan sempat membagi pengalamannya membaca buku ini. Ia selalu teringat adegan dimana Ayah Eliezer sekarat dan kemudian mati menjelang pembebasan tahanan di kamp. Jika ditarik pada isu yang lebih personal, barangkali selain menyinggung kemanusiaan, buku ini juga menyinggung memori tentang kehilangan dalam diri pembacanya. Sebagaimana pula yang dialami dan diceritakan oleh Elie lewat bukunya.

Suasana membaca di Klub Baca Buku Untuk Semua #23 disertai live via intasgram (kiri ke kanan: Pingkan dan Ario)

Usai buku ini, kami masih akan lanjut membaca karya-karya sastra yang lain. Masih dengan lokasi dan waktu yang sama, yaitu di Perpustakaan Forum Lenteng, setiap hari Rabu (dan Kamis jika satu tak usai), pukul 19.00 WIB. Acara membaca ini turut kami siarkan pula secara langsung via facebook .Tentu kalau mau, kamu pun dipersilakan untuk bergabung membaca bersama Klub Baca Buku Untuk Semua.***